Tangkap layar pakar hukum tata negara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (kanan) dalam Kajian Islam dan Konstitusi yang dipandu pegiat pemilu Titi Anggraini (kiri) melalui YouTube Salam Radio Channel, dipantau dari Semarang, Selasa (19/4/2024). ANTARA/Kliwon

Semarang, aktual.com – Pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva memandang perlu ada aturan main terkait dengan pengangkatan penjabat kepala daerah agar memudahkan masyarakat mengontrol kebijakan mereka apakah menguntungkan salah satu pihak atau tidak dalam Pemilu 2024.

“Dengan adanya aturan demikian, publik akan menjadi mudah untuk mengontrol penjabat kepala daerah yang bertindak atau dalam kebijakannya apakah menguntungkan salah satu pihak, baik partai politik maupun pasangan calon presiden/wakil presiden pada Pemilu 2024,” kata Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dalam Kajian Islam dan Konstitusi yang disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, yang dipantau dari Semarang, Selasa (19/4).

Dalam diskusi bertema “Mencegah Politisasi Penjabat Kepala Daerah untuk Pemenangan Pemilu 2024”, Hamdan menjelaskan inti regulasi tersebut, yaitu: pertama, perlu ada aturan mekanisme yang transparan dalam melakukan rekrutmen penjabat kepala daerah selain adanya syarat formal sebagaimana ketentuan undang-undang.

Mekanisme transparan ini, kata Hamdan, bertujuan untuk menghindari lobi tertutup sekaligus memberi ruang keterlibatan publik dan penetapan penjabat kepala daerah.

Kedua, lanjut dia, regulasi mengenai sanksi yang lebih tegas bagi penjabat kepala daerah yang terbukti memihak atau tidak netral dalam proses pemilu.

Dengan adanya aturan tersebut, menurut Hamdan, menjadi dasar bagi publik melakukan kontrol bagi terhadap kepala daerah agar netral dalam pemilu dan sekaligus menjadi dasar bagi Bawaslu, Komisi ASN, atau Kemendagri dalam menjatuhkan sanksi bagi penjabat kepala daerah yang terbukti tidak netral.

“Hal itu semua dalam rangka menjamin pelaksanaan pemilu yang demokratis dan publik memercayai hasilnya,” kata Hamdan dalam acara yang dipandu pegiat pemilu Titi Anggraini.

Ketiga, lanjut Hamdan, hal-hal yang dilarang atau menjadi batas-batasan kewenangan penjabat kepala daerah terkait dengan perubahan atas regulasi yang telah ada sebelumnya.

Hamdan mengemukakan bahwa prinsip dasar aparatur sipil negara (ASN) menjaga netralitas dalam pemilihan, baik pemilihan kepala daerah, pemilu anggota legislatif, maupun Pemilu Presiden/Wakil Presiden, atau tidak boleh memihak kepada siapa pun.

“ASN secara teori tidak berafiliasi ke partai mana pun, tidak berafiliasi pada kepentingan parpol mana pun, apalagi dalam pilkada maupun pilpres. Itu standar umum,” kata Hamdan.

Masalahnya, kata dia, adalah akan selalu ada ketidaknormalan dalam menjalankan kebijakan yang berpotensi menguntungkan salah satu parpol atau salah satu pasangan calon dalam pemilihan umum, baik pilpres maupun pilkada. Dengan demikian, kecenderungan itu pasti selalu ada meskipun secara teori tidak boleh ASN berpihak pada calon peserta pemilu.

Menjawab pertanyaan Titi terkait dengan posisi strategis penjabat kepala daerah yang rentan politisasi, Hamdan mengemukakan bahwa asumsi seluruh ASN yang memenuhi syarat jabatan tinggi madya dan tinggi pratama memiliki peluang yang sama.

Agar mereka tetap independen atau tidak memihak dalam pemilihan, Hamdan memandang perlu ada mekanisme kontrolnya berupa regulasi. Hal ini guna mencegah penjabat kepala daerah itu tidak melakukan kebijakan yang menguntungkan salah satu parpol atau salah satu pasangan calon dalam pilpres maupun pilkada.

“Itulah yang harus menjadi kajian dan pegangan bagi Pemerintah. Di lain pihak, bagi publik dalam mengontrol kepala daerah dari ASN. Apalagi, penjabat gubernur diangkat oleh Presiden dan penjabat bupati/wali kota diangkat Mendagri,” ujarnya.

Sepanjang belum ada aturan main pengangkatan penjabat kepala daerah secara transparan dan terbuka, menurut Hamdan, masyarakat akan kesulitan mengontrol kebijakan dalam menjalankan pemerintahan daerah. Ditambah lagi, meski secara teori mereka harus menjaga netralitas, dalam praktiknya tidak bisa penjabat kepala daerah menghindarinya.

“Dalam praktiknya, tidak bisa menghindarinya, itu sudah pasti, bagaimanapun juga dia dari parpol yang sama pasti membantu kawannya dalam kebijakan maupun tindakannya,” kata Hamdan yang pernah sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013—2015.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain