Banda Aceh, aktual.com – Di Tengah persawahan Desa Kuta Karang Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar, sebuah bangunan besar berwarna putih di bawah pepohonan kelapa tampak berdiri kokoh.

Ikhwani mengatakan masjid Syiek Kuta Karang ini juga salah satu dari tujuh masjid yang tidak dibakar pada zaman penjajahan, yang mana kala itu Masjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda.

Saat ini, masjid Tgk Syiek Kuta Karang tidak lagi digunakan untuk shalat berjamaah lima waktu oleh warga setempat, karena sudah dibangun masjid besar yang berada tepat di sebelahnya.

Tapi, sering digunakan pada kegiatan ibadah lainnya seperti pengajian rutin malam, serta menjadi tempat belajar agama Islam untuk anak-anak desa setempat.

“Paling kalau ada orang shalat dua rakaat di sini, dan tempat pengajian anak-anak juga di sini,” katanya.

Tepat di depan masjid, sebuah sumur tua juga memiliki sejarah, konon katanya air dari sumur tua itu dulunya bisa menjadi obat mujarab. Namun, terlihat juga tak terawat lagi.

“Dulu orang sering mengambil air di sumur ini, katanya untuk obat, tapi saya kurang tahu juga apakah sumur ini, karena dulu banyak sumur di sini,” ujar Ikhwani.

Dari jalan beraspal, masjid berkubah dua terlihat indah, kala itu para jamaah juga satu per satu keluar dari masjid usai melaksanakan ibadah Shalat Ashar berjamaah.

Namun, yang menjadi perhatian bukanlah masjid tersebut, melainkan bangunan sederhana di sebelahnya. Sebuah masjid kecil dengan sejarah panjang karena didirikan oleh seorang ulama besar Aceh.

Sekilas, masjid kecil ini tak terlihat tua, karena bagian depannya sudah di semen dengan cat putih bersih, hanya atapnya masih berdesain bangunan zaman dulu.

Di sana, seorang pria muda terlihat mondar mandir dengan memegang dua buah buku di tangannya. Lalu ia berdiri dekat sebuah pamflet segi empat yang berada tepat di depan masjid kecil ini sambil melihat ke area persawahan.

Pada pamflet tersebut tertulis Masjid Teungku (Tgk) Syiek Kuta Karang Kemukiman Ulee Susu Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar.

Dia menyapa, “Assalamu’alaikum.” Pria bernama Ikhwani itu merupakan warga setempat, bukan penjaga masjid, melainkan seorang warga yang peduli terhadap kebersihan dan sejarah masjid tersebut.

“Masjid ini dibangun pertama sekali 1860, itu 13 tahun sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, karena Belanda masuk Aceh sekitar tahun 1873,” kata Ikhwani.

Masjid tersebut dulunya tak hanya menjadi tempat ibadah shalat masyarakat setempat, bahkan Tgk Syiek Kuta Karang sering mengobati orang-orang di sana.

Selain itu, masjid ini juga menjadi dayah atau pesantren bagi mereka yang dulu belajar ilmu agama pada ulama besar Aceh tersebut.

Sejak didirikan atau ditinggalkan Tgk Syiek Kuta Karang, masjid tua ini telah dua kali mengalami perubahan, pertama pada tahun 1951, dan terakhir direnovasi pada November 2018 lalu.

Dua kali direnovasi, masjid ini tidak mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Hanya bagian luarnya saja diubah dari kayu menjadi semen dengan lantai diganti keramik, dan sedikit ditinggikan.

Meski demikian, keaslian dari masjid ini masih terlihat dari dalamnya. Tiang penyangga dan pelapis atap masih menggunakan kayu utuh dari pertama didirikan, walaupun sudah rusak dimakan usia.

Kemudian, tempat berdirinya imam juga masih berbentuk zaman dulu, namun sekarang sudah dibuat permanen menggunakan semen.

“Terakhir direnovasi ini bulan November 2018 lalu, tapi tiang-tiangnya masih yang lama, belum diganti karena masih tahan,” ujar Ikhwani.

Tgk Syiek Kuta Karang

Syekh Abbas bin Muhammad al-Asyi adalah nama asli dari Tgk Syiek Kuta Karang, selain ulama besar dan pejuang melawan Belanda, ia juga dikenal sebagai ahli astrolog atau ilmu falak. Bahkan cukup ahli dalam dunia pengobatan pada abad ke 19.

Tgk Syiek Kuta Karang tak hanya dikenal dan dikenang oleh sebagian besar masyarakat Aceh, tetapi juga banyak diketahui warga negeri jiran Malaysia. Hal itu karena sebagian besar karyanya juga tersimpan di sana.

Meski dikenal hebat dan mampu dalam berbagai ilmu, namun tanggal dan tempat kelahirannya tak tercatat, masih menjadi tanda tanya masyarakat Aceh.

Ikhwani menjelaskan beberapa hal yang diketahui dari berbagai sumber dan bukunya, Tgk Syiek Kuta Karang memang merupakan orang asli di sana, sehingga nama desa di itu diberikan sesuai nama akrab ulama besar Aceh tersebut.

Tgk Syiek Kuta Karang meninggal dunia pada November 1895, dan dimakamkan di komplek pemakaman Tgk Abdullah Kan’an, di Desa Leugeu Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar.

Tgk Abdullah Kan’an sendiri merupakan seorang ulama besar asal Palestina yang menyebarkan Islam ke Aceh pada 1880 Masehi. Dulunya, Tgk Syiek Kuta Karang sendiri pernah menjadi salah satu penjaga makam penyebar Islam tersebut.

Kata Ikhwani, selain menjaga makam Tgk Abdullah Kan’an, Tgk Syiek Kuta Karang dulunya juga memiliki posisi penting di kerajaan Aceh, salah satunya sebagai penasehat hukum dalam pengambilan kebijakan.

“Dulu Syiek Kuta Karang juga sebagai penjaga makam Tgk Abdullah Kan’an, dan juga menjadi pengambil keputusan hukum,” kata Ikhwani.

Dari beberapa sumber yang dibaca, di mata seorang orientalis Belanda Snouck Hurgronje, Tgk Syiek Kuta Karang merupakan tokoh ulama aktif, pintar, namun aneh.

Menurut Snouck, kata Ikhwani, Tgk Syiek Kuta Karang dikenal sebagai seorang aktif dalam menuangkan pemikirannya, baik melalui pengajaran di lembaga dayah yang ia bangun maupun melalui tulisan dan bahkan dalam bentuk aktivitas dakwah. Terutama dalam mengatasi kondisi Aceh yang sedang dalam perang melawan Belanda.

Karena tidak hanya menguasai ilmu ajaran keagamaan sebagai seorang ulama, tetapi juga ahli astrologi dan kedokteran serta pengobatan. Namun, yang dianggap aneh lagi pemikirannya berbeda dalam banyak hal berkaitan dengan prilaku perang.

“Dalam buku yang saya baca ini, Snouck Hurgronje juga melihat Tgk Syiek Kuta Karang sosok ulama aneh, karena ia sangat menentang Belanda,” ujarnya.

Semasa hidupnya, Tgk Syiek Kuta Karang banyak meninggalkan karyanya, mulai dari tentang sejarah, keagamaan, hingga buku terkait pengobatan.

Ia menyebutkan, terdapat lima kitab yang sempat dituliskan ulama besar Aceh itu yakni Al-Qun’u li man Ta’attafa pada tahun 1843. Kemudian buku Siraj al-Zalam pada 1849, dan buku Al Rahmah fi al-Tibb sekitar tahun 1853.

Selanjutnya, setelah mendirikan masjid dan masa perang melawan Belanda kembali menulis buku keempatnya yaitu berjudul Maw’izah al-Ikhwan pada 1886, serta buku terakhirnya berjudul Tadhkirah al-Rakidin tahun 1889.

“Jadi ada lima buku yang beliau karang selama hidupnya, dan banyak karyanya itu di Malaysia, saya saja dapat buku ini setelah memesan dari orang Malaysia,” kata Ikhwani.

Kunjungan wisman

Masjid Tgk Syiek Kuta Karang mungkin tidak seterkenal Masjid Raya Baiturrahman di pusat ibu kota provinsi Aceh yang menjadi pilihan wisata religi baik bagi wisatawan lokal, nusantara hingga mancanegara.

Meski tidak banyak, masjid Tgk Syiek Kuta Karang yang hanya berukuran 10×10 meter ini kerap dikunjungi beberapa wisatawan lokal hingga mancanegara khususnya dari Malaysia.

“Sering juga ada wisatawan yang datang ke sini, masyarakat Aceh ada, tapi paling sering itu dari Malaysia,” kata Imum Mukim Ulee Susu Muhammad Yusuf.

Tak hanya berkunjung, ada salah satu keluarga dari Malaysia setiap tahunnya mengunjungi masjid Tgk Syiek Kuta Karang ini, bahkan mereka juga sering memberikan sumbangan untuk perawatan masjid tua itu.

Kabarnya, mereka sangat cinta terhadap peninggalan Tgk Syiek Kuta Karang karena telah banyak mendapatkan referensi ilmu pengobatan dari buku yang dituliskan ulama Aceh itu.

M Yusuf mengatakan, para wisatawan Malaysia yang datang sering melaksanakan shalat di masjid tua ini ketimbang masjid besar yang baru dibangun di sebelahnya itu.

Biasanya, kata M Yusuf, para wisatawan Malaysia setelah mengunjungi masjid, mereka pasti berziarah ke makam Tgk Syiek Kuta Karang yang tidak jauh dari sana.

Bahkan, wisatawan Malaysia juga sangat banyak memberikan bantuan untuk memperindah lokasi makam ulama Aceh beserta keluarganya itu.

“Jadi bangunan tempat makam Tgk Syiek Kuta Karang ini juga dibangun oleh wisatawan Malaysia, sehingga bagus seperti ini, mereka sangat perhatian,” ujarnya.

M Yusuf menambahkan, masjid tua bersejarah itu saat ini belum tercatat sebagai salah satu situs cagar budaya, sehingga tidak memiliki biaya perawatan dari pemerintah. Mereka telah mengusulkan sejak dua tahun lalu, namun belum ada hasil.

Sudah diusulkan menjadi situs sejarah sejak 2 tahun lalu kepada Pemkab Aceh Besar, tetapi sampai hari ini belum ada hasil apapun. Dia berharap masjid ini segera ditetapkan jadi situs budaya di Aceh Besar.*

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Rizky Zulkarnain