Saudaraku, seperti burung yang riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri dengan sukacita. Setelah manusia berhasil melewati ujian dalam kremasi Ramadhan, pantaslah ia kembali dengan kelapangan jiwa sang pemenang.
Istilah lebaran dalam kosakata kita mengandung muatan pengertian yang sepadan dengan harapan itu. Berasal dari bahasa Jawa/Sunda ”lebar”, lebaran bisa berarti rampung atau luas. Bisa juga dimaknai dalam satu tarikan nafas, kepurnaan ujian yang membawa kelapangan. Bahwa hidup bukanlah tanpa kesulitan dan ujian. Namun, kesulitan dan ujian bukanlah kutukan yang mendorong keputusasaan dan kesesatan, melainkan keberhasilan dan kegembiraan yang tertunda.
Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, marilah kita hikmati “kepulangan” yang lebar: pulang ke sumber, pulang ke akar. Dalam kepulangan ini, semua keragaman berasal dari akar yang sama dan akan kembali ke sumber yang sama. Keragaman warga bumi adalah cerminan dari kekayaan Ilahi yang membawa rahmat bagi semesta: agar manusia bisa saling mengenal dan berlomba dalam kebajikan.
Idul Fitri merupakan titik simpul antara tauhidullah (kesatuan ketuhanan) dan tauhidunnas (kesatuaan kemanusiaan). Hari raya Lebaran berikut acara halal-bihalal dalam tradisi Indonesia, yang melahirkan semacam kenduri multikultural dengan melibatkan penganut ragam agama, secara pas merepresentasikan pesan moral Idul Fitri.
Dalam semangat lebaran, yang minoritas dan mayoritas bisa melumerkan sekat-sekat kompleks diri (minority complex atau majority complex). Semuanya melebur dalam karnaval keceriaan hidup bersama, dengan penuh semangat persaudaraan lintas-iman, lintas budaya.
Dengan semangat Lebaran, marilah kita rekatkan kembali retakan-retakan dalam rumah kebangsaan dengan menguatkan semen perdamaian, pelayanan dan keadilan ke segala aneka dan lapis masyarakat. Dengan mencintai sesama warga di bumi, niscaya akan mencintai kita ”Yang Ada di Langit”.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin