Jakarta, Aktual.com – Pengamat kelautan Abdul Halim menyatakan ekspor sektor perikanan harus didorong ke arah barang olahan agar jangan lagi bergantung kepada produk mentah.
“Kami berharap bentuk ekspor perikanan hari ini tidak bergantung semata-mata kepada produk bahan mentah,” katanya di Jakarta, Selasa (24/5).
Untuk itu, ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, diharapkan ke depannya berbagai produk yang diekspor dari sektor perikanan ke berbagai negara tujuan atau sasaran adalah produk barang minimal setengah jadi atau barang jadi.
Ia berpendapat bahwa dengan demikian, masyarakat terutama di kawasan pesisir bisa mendapatkan manfaat ekonomi jauh lebih besar ketimbang sekadar mengekspor barang mentah ke pasar-pasar luar negeri
“Masyarakat global sudah semakin bergantung kepada pasokan ikan dari negara-negara berkembang, yang dianggap masih memiliki stok cukup besar, di antaranya adalah Indonesia,” katanya.
Abdul juga mengajak berbagai pelaku usaha perikanan di dalam negeri, terlebih koperasi-koperasi nelayan yang tersebar di seantero Indonesia agar bisa memaksimalkan ekspor.
Di sisi lain, menurut dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diharapkan pula dapat memfasilitasi koperasi nelayan agar bisa melengkapi dirinya dengan berbagai persyaratan yang diperlukan sehingga pada akhirnya produk yang mereka hasilkan bisa diekspor dan diperdagangkan di luar negeri.
Sebelumnya, KKP mengajak para pelaku usaha memaksimalkan peluang ekspor yang kian terbuka. Selain makin diminati di pasar global, produk perikanan Indonesia bisa menikmati tarif 0 persen ke berbagai negara.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Artati Widiarti menyebutkan Pemerintah RI telah menyelesaikan dan meratifikasi perjanjian perdagangan dengan beberapa negara antara lain Indonesia-European Free Trade Association (EFTA) Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE–CEPA) yang beranggotakan Norwegia, Swiss, Islandia dan Lichtenstein, Indonesia – Mozambique Preferential Trade Agreement (IM-PTA), Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP), dan Indonesia – Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
“Dengan adanya perjanjian dagang tersebut, diharapkan peluang akses pasar produk perikanan semakin terbuka mengingat hambatan tarif semakin menurun bahkan dihapuskan,” jelasnya.
Artati menyampaikan bahwa FAO telah memproyeksikan 90 persen dari produksi ikan akan dikonsumsi sebagai pangan, tepung ikan dan minyak ikan (8 persen), dan sisanya non pangan lainnya (2 persen) pada tahun 2030. Kemudian, konsumsi ikan per kapita secara global diproyeksikan mencapai 21,2 kg per kapita pada 2030, naik dari rata-rata 20,5 kg per kapita pada 2018-2020.
Selain itu, diproyeksikan juga ekspor ikan konsumsi dunia pada tahun 2030 akan mencapai 44 juta ton (setara berat hidup), kemudian disebutkan pula bahwa sekitar 47 persen ekspor ikan konsumsi dunia akan berasal dari negara-negara Asia.
“Tentu, ini gambaran peluang yang sangat sayang kalau kita lewatkan, jadi mari kita optimalkan semaksimal mungkin,” ujarnya.
Berdasarkan data sementara BPS (480 kode HS 8 digit produk perikanan), nilai ekspor produk perikanan periode Januari-Maret 2022 mencapai 1,53 miliar dolar AS atau naik 21,62 persen dibanding periode yang sama tahun 2021.
Negara tujuan ekspor utama produk Indonesia meliputi Amerika Serikat sebesar 727,27 juta dolar AS atau meningkat 29,60 persen dibanding periode tahun sebelumnya, Tiongkok sebesar 214,39 juta dolar (meningkat 25,32 persen), Jepang 151,62 juta dolar (meningkat 10,08 persen), ASEAN 151,26 juta dolar (meningkat 12,18 persen), dan Uni Eropa 78,17 juta dolar (meningkat 26,71 persen).
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Nurman Abdul Rahman