Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif foto bersama As Sayyid Assyarif AsSyekh Dr. Muhammad Fadhil Al Jilani Al Hasani Al Huseini saat acara Halal Bil Halal keluarga Zawiyah Arraudhah di Zawiyah wa Ma'had Arraudhah, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (1/7/2018). AKTUAL/Tino Oktaviano

Saudaraku, kita tak cukup menjadi suci secara pribadi; yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan kehidupan kolektif. Mengapa? Dalam kehidupan kolektif (negara) yang buruk, manusia baik bisa saja jadi warga negara yang buruk.

Idul Fitri mengajak manusia kembali ke asal fitrah kemurnian manusia, sebagai makhluk pencari makna (nilai-nilai) luhur. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi krisis kebangsaan dengan kembali ke fitrah kenegaraan yang memperjuangkan mimpi kemenangan dan kebahagiaan seluruh warga dan golongan.

Hakikat kebangsaan Indonesia adlah suatu kesatuan dalam keragaman, yang bisa dipertahankan sejauh bisa diwujudkan negara persatuan dan keadilan.

Perwujudan negara persatuan dan keadilan menuntut peran aktif warga negara. Prof. Soepomo mengingatkan, “Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya ‘apakah hak-hak saya?’, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini?…Inilah pikiran yang harus senantiasa diinsyafkan oleh kita semua.” Ucapan Soepomo itu mendahului pernyataan John F. Kennedy pada rakyat Amerika Serikat (1961), “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country.”

Dari perjalananku menjejahi Indonesia dari ufuk ke ufuk, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki-kaki kebangsaan, jelas terlihat bahwa Indonesia adlah bangsa yang kuat dalam tata kelola negara yang relatif lemah. Meski usaha pemerintahan dalam melindungi, mensejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan warganya masih lemah, solidaritas kebangsaan Indonesia masih relatif kuat. Masih kuatnya simpul kebangsaan inilah yang dapat menahan negara ini dari perpecahan.

Dalam kenyataannya, kuatnya tenunan rasa kebangsaan ini tidaklah sekadar mengandalkan pasak besar organisasi politik dan birokrasi negara, melainkan oleh rajutan serat-serat tipis keindonesian, yang menampung inisiatif warga secara sukarela. Yakni gugusan inisiatif komunitas dari keragaman agen sosial dalam mengembangkan jaring konektivitas (sambung rasa) dan inklusivitas (kesetaraan akses) yang menumbuhkan rasa saling percaya.

Makrifat Pagi, Yudi Latif

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin