Denpasar, Aktual.com – Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Laksanto Utomo menilai akar permasalahan konflik masyarakat adat terjadi karena ketidakpastian hukum terkait pengakuan hak ulayat.

“Akar permasalahan konflik yang terjadi pada masyarakat adat disebabkan oleh ketidakpastian pengamuan terhadap masyarakat hukum adat, ketiadaan batas-batas hak ulayat, serta banyak terjadi perseteruan antara legalitas dan legitimasi,” kata Laksanto dalam keterangan yang diterima di Denpasar, Rabu (8/6).

Masyarakat adat juga kerap menghadapi sengketa tanah ulayat dengan perusahaan, katanya, dimana sebagian besar kasus tersebut cenderung tidak memihak pada kelompok adat.

Berbagai masalah yang dihadapi masyarakat adat tersebut, menurutnya, dapat diantisipasi apabila DPR dan Pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang sejalan dengan amanat konstitusi, yaitu Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

“Keberadaan hukum adat yang ditaati oleh masyarakat hukum adat sejatinya telah diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 18B UUD 1945,” katanya.

Namun, jaminan konstitusi itu belum cukup melindungi masyarakat adat.

Dia mencontohkan kasus sengketa tanah yang dialami Masyarakat Adat Karuhun Urang yang bermukim di Desa Cigugur, Kunjngan, Jawa Barat. Putusan hakim dalam kasus itu, katanya, tidak mempertimbangkan hukum adat yang dianut oleh Masyarakat Adat Karuhun Urang, dimana salah satunya ialah tanah bukan jadi objek waris.

Namun, majelis hakim dari pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung (MA) lebih memilih memenangkan penggugat yang menuntut hak waris dari tanah ulayat Masyarakat Adat Karuhun Urang.

“Mahkamah Agung memenangkan pihak penggugat karena menilai perkara itu semata sengketa waris keluarga,” ucapnya.

Upaya hukum lanjutan sempat dijalankan oleh masyarakat adat, tetapi putusan MA menolak permohonan itu.

“Putusan kasus sengketa yang menimpa Masyarakat Adat Karuhun Urang membuktikan hakim tidak mempertimbangkan hukum adat. Padahal, kasus yang ditanganinya terkait dengan hak ulayat masyarakat adat,” jelasnya.

Laksanto merasa khawatir kasus serupa bakal dialami masyarakat hukum adat lain yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu, dia menilai pengesahan RUU MHA menjadi UU pun kian mendesak.

“RUU MHA yang digadang-gadang sebagai produk hukum negara yang dapat mengakomodasi keberadaan dan eksistensi masyarakat hukum adat, sampai saat ini belum diketahui nasibnya. Hampir dua dasawarsa RUU itu seperti jalan di tempat, meskipun beberapa kali masuk prolegnas,” ujarnya.

Selain itu, APHA juga mendesak lembaga peradilan, termasuk MA, memastikan para hakimnya menguasai dan mempertimbangkan hukum adat saat menangani sengketa terkait hak dan tanah ulayat.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
As'ad Syamsul Abidin