Jakarta, Aktual.com – Girah atau semangat mendirikan partai berbasis massa Islam hingga saat ini belum redup. Kejayaan Masyumi pada Pemilu 1955 mungkin masih jadi pijakan yang menggoda bagi sejumlah politikus masa kini.
Pemilu 1955, yang disebut banyak kalangan berlangsung sangat demokratis, memang hanya menempatkan Masyumi di posisi kedua di bawah PNI. Namun, kala itu perolehan suara empat partai teratas saling berimpitan. PNI meraih 8,4 juta suara, Masyumi (7,9 juta), Partai NU (6,96 juta), dan PKI menangguk 6,18 juta suara.
Dengan selisih perolehan seperti itu, tidak mengherankan sering terjadi pertarungan sengit di parlemen, terutama Masyumi dengan PKI, hingga akhirnya partai bernama lengkap Majelis Syura Muslimin Indonesia ini dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
Pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada Presiden H.M. Soeharto tidak memberi angin pada Masyumi. Masyumi jelas tidak mungkin ikut Pemilu 1971 karena sudah dibubarkan.
Kendati demikian, ada yang mencoba mereinkarnasi. Sejumlah aktivis Masyumi mendirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) untuk ikut Pemilu 1971.
Sayangnya, impian mengulang kejayaan Masyumi pada masa lalu jauh dari kenyataan. Parmusi hanya di posisi keempat dengan raihan 2,9 juta suara, jauh di bawah Golkar, Partai NU, dan PNI.
Golkar, yang kala itu tidak menyebut dirinya partai politik, menyapu mutlak surat suara dengan menangguk 34,35 juta pemilih atau nyaris setara dengan 63 persen dalam pemilu yang diikuti 10 partai pada Pemilu 1971.
Pemilu pada masa awal rezim Orde Baru tersebut memang dinilai tidak demokratis karena terjadi mobilisasi masif dari suprastruktur kekuasaan hingga aparat level terbawah.
Setelah Golkar sukses menguasai parlemen, pemilu demi pemilu di bawah rezim Orde Baru tak lebih dari lipstik demokrasi. Golkar selalu juara dengan kemenangan sangat mutlak hingga Pemilu 1997. PPP dan PDI (belum Perjuangan) harus menyamankan diri di posisi kedua dan ketiga.
Titik balik sejarah demokrasi dimulai pada Pemilu 1999 setelah Orde Baru tumbang di tangan “parlemen jalanan” yang menginginkan perubahan di segala lini: Reformasi.
Girah mengulang sejarah kebesaran Masyumi kembali muncul. Kali ini melalui Partai Bulan Bintang yang dinakhodai Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara.
PBB memang tidak menggunakan nama Masyumi, tetapi ingatan kolektif generasi pra-Baby Boomer akan paham bahwa hal itu tidak bisa lepas dari keinginan pendirinya untuk mengembalikan kejayaan Masyumi. Logo PBB dengan Masyumi nyaris persis.
Harapannya, PBB yang mulai berlaga pada Pemilu 1999—dengan logo itu—mampu mengembalikan memori pemilih Masyumi yang saat itu sudah berusia senja. Syukur-syukur bisa menarik pemilih muda yang memiliki ikatan ideologis dengan pilihan politik orang tuanya pada masa lalu.
Hasilnya, pada Pemilu 1999 PBB menempati posisi keenam dengan raihan 2,05 juta suara dan hanya menempatkan 13 wakilnya di DPR. Posisi ini jauh dari perolehan PDI Perjuangan yang menangguk 35,69 juta suara atau 33,7 persen dan mengirimkan 153 wakilnya di DPR.
PDI Perjuangan kala itu boleh dibilang berhasil membangunkan jutaan banteng yang lama berhibernasi untuk mengembalikan kejayaan PNI pada masa lalu.
Namun, tidak demikian dengan PBB. Pun dengan partai-partai berbasis massa Islam yang berlaga pada Pemilu 1999. Dari 48 partai yang bertarung pada Pemilu 1999, setidaknya ada tiga partai, yang dari namanya, terasosiasi dengan Masyumi selain PBB. Ada Partai Politik Islam Indonesia Masyumi dan Masyumi Baru.
Pada Pemilu 1999, setidaknya ada 16 partai berbasis massa Islam (selanjutnya disebut partai Islam). Namun, yang eksis hingga Pemilu 2019 hanya PKB, PAN, dan PPP, dan PKS (dahulu PK) dengan segmentasi konstituen yang relatif terbatas.
Bila jumlah perolehan suara keempat partai berbasis massa Islam pada Pemilu 2019 tersebut digabung, jumlahnya 28.746.530 suara, sedikit lebih unggul jika dibandingkan dengan PDI Perjuangan sebagai juara yang mendulang 27.053.961 suara. Itu menandakan kue suara massa Islam politik memang kecil.
Meskipun keempat partai Islam tersebut eksis, podium utama di parlemen tetap dikuasai tiga partai nasionalis, PDI Perjuangan, Gerindra, dan Golkar.
Menengah Bawah
Pembagian tipologi partai nasionalis dan Islam, dalam tulisan ini, tak lebih hanya untuk menyederhanakan penyebutan. Mengacu indonesianis William Liddle, partai-partai nasionalis dan partai Islam di Indonesia makin majemuk. Tak ada polarisasi tajam ideologi partai-partai. Kondisi ini pula yang bikin Liddle optimistis terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Partai-partai Islam belakangan kian rajin menjajakan platform nasionalis, sedangkan partai-partai nasionalis pun makin gesit mengakomodasi aspirasi umat. Bank syariah, misalnya, berkembang ketika kekuasaan di tangan partai-partai nasionalis.
Kondisi perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu sejak pengujung abad 20 hingga awal abad 21 tetap berada di pusaran menengah bawah. Secara akumulasi, dari pemilu ke pemilu, tidak pernah menembus 50 persen.
Kendati “kue” suara pemilih partai Islam relatif kecil, sejarah politik di Tanah Air menunjukkan bahwa hal itu tidak membuat nyali sejumlah politikus Islam menciut. Ketika tergusur dari partai lama, mereka mendirikan partai untuk mendulang konstituen Islam politik.
Salah seorang pendiri PAN, Amien Rais, begitu digusur dari kepengurusan partai berlambang sinar Matahari tersebut, tak lama kemudian mendirikan Partai Ummat.
Doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Chicago, AS, ini menyadari masih banyak loyalisnya. Lebih dari itu, mungkin masih banyak anggota dan simpatisan Muhammadiyah yang bakal ikut-ikutan menghukum PAN yang telah mendepak mantan Ketua Umum Muhammadiyah tersebut. Hukumannya berupa mengalihkan dukungan ke Partai Ummat.
Akan tetapi, semua itu masih asumsi dan spekulatif karena Muhammadiyah di bawah Ketua Umum Haedar Nashir makin jelas mengambil jarak dengan parpol, tidak terkecuali dengan PAN, yang pada awalnya memang mengandalkan basis dukungan dari jemaah ormas yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan tersebut.
Ketika Partai Ummat belum terkonsolidasi dengan kokoh, yang ditandai dengan mundurnya beberapa pengurus, muncul Partai Pelita yang diprakarsai Din Syamsuddin, juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Partai ini diketuai Beni Pramula, kader muda Muhammadiyah.
Jauh sebelumnya, mantan petinggi PKS, Anis Matta dan Fahri Hamzah, mendirikan Partai Gelora. Keberadaan partai ini diperkirakan juga akan menggerus perolehan suara PKS pada Pemilu 2024 mengingat langkah kedua politikus muda itu juga diikuti banyak kader partai dakwah tersebut di daerah-daerah.
Masih ada sejumlah partai Islam yang berancang-ancang berlaga pada Pemilu 2024, seperti Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) dan Masyumi “Reborn” yang didirikan oleh eks politikus PPP, Ahmad Yani.
Akankah salah satu atau dua partai tersebut mampu mengulang kejayaan Masyumi pada masa lalu? Sejarah memang bisa terulang. Namun, perjuangan mereka untuk mewujudkannya masih panjang.
Untuk memastikan partai-partai politik Islam tersebut bisa berlaga pada Pemilu 2024 saja masih harus menunggu hasil verifikasi KPU.
Jika lolos, mereka juga harus menyiapkan banyak sumber daya, terutama keuangan, agar sedikitnya bisa meraih 4 persen suara sah Pemilu 2024 sebagai ambang batas (parliamentary threshold) supaya wakil-wakilnya bisa bersinggasana di DPR RI.
Sungguh pekerjaan sangat melelahkan, menguras pikiran, tenaga, dana, bahkan mungkin juga air mata.
Namun, kekuasaan memang magnet besar bagi politikus. Oleh karena itu, apa pun dipertaruhkan meskipun peluangnya sekecil lubang angin rumah.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid