Jakarta, Aktual.com – Berbicara tentang Suku Asmat, semua orang pasti akan tertuju pada keahliannya mengukir kayu secara mendetail nan rapih. Katanya, mereka mengukir berdasarkan bisikan-bisikan suara leluhur yang dipanggil ‘roh agung’ bercerita.
Semua ukiran tersebut akan dibuat dalam waktu yang cepat. Uniknya, tidak ada satu pun ukiran yang sama, bahkan warna-warna yang digunakan saat mempercantik setiap garis dalam ukiran tersebut.
Bila kita berselancar di internet, banyak sumber menyebutkan mereka sebagai pengukir hebat. Namun Ibu Pertiwi seringkali lupa, sebutan itu tak cukup karena Asmat punya segudang bakat terpendam.
Hidup di daerah yang dikepung oleh rawa dan sungai yang panjang, membuat tubuh mereka mempunyai kulit yang lebih eksotis dengan tinggi badan menjulang serta kekar layaknya model di Ibu Kota. Inilah bakat pertama lainnya yang mereka miliki.
Anak Asmat tumbuh bersama air, mereka senang menghabiskan waktu untuk berenang dalam waktu yang cukup lama bersama teman-temannya. Dengan tubuh itu, mereka mampu menjadi layaknya perenang handal dan sanggup berenang melintasi jarak antar tepi rawa dengan daerah tempat tinggalnya yang lebih dari 80 meter setiap harinya.
Selain mampu bertahan di air dalam waktu yang lama, air sungai yang berwarna cokelat pun tak menjadi halangan bagi mereka untuk menangkap udang dan ikan dalam jumlah yang banyak.
Asmat seakan bisa membaca nafas atau gerak gerik setiap hewan yang ada di sungai dengan mata yang tajam dimiliki. Udang yang sangat besar dengan banyak berisi telur-telur gurih berhasil didapatkan dalam satu genggaman dan dikumpulkan dalam satu keranjang besar.
Padahal, mereka berenang di daerah pinggir rawa yang dipenuhi oleh pohon akar pandan berduri. Belum lagi banyaknya ular yang berenang di dalam air dan dapat mencelakai mereka dalam sepersekian detik.
“Udang dikumpulkan dengan susah payah, berdarah-darah, biasa angkat dan terbeset pohon akar pandan to, jadi kami berenang hanya untuk makan,” kata Moses Foid salah satu warga Kampung Damen, Kabupaten Asmat, Papua.
Tak hanya mengandalkan tubuh kekarnya, beberapa dari mereka adalah pendayung yang baik. Moses menceritakan beberapa warga desa bisa mengendarai sampan atau perahu kecil dengan bermodalkan dua sampai empat dayung.
Dayung-dayung yang dibuat, berasal dari kayu yang cukup kuat dan memiliki bentuk runcing di bagian atas. Runcingan dayung berguna untuk melindungi diri mereka apabila ada hewan buas seperti buaya mendekat ke arah perahu.
“Itu buaya sangat besar kaka. Kampung sebelah ada yang termakan. Tida tahu itu buaya datang dari mana, sudah diawetkan di museum kota. Ikut induknya malam-malam, kami suka ke hutan pecahkan itu telur-telur yang sampai 200, 300 telur sekali lahir,” kata Sekretaris PNS Kampung Damen Petrus Fumori (45).
Suku Asmat, kata dia, juga bisa meramalkan cuaca lewat hadirnya bintang di langit. Bila banyak bintang, mereka tahu bahwa hujan tidak akan turun karena cuaca cerah. Sementara untuk mengetahui pasang surut air laut, mereka melihat secara jeli melalui terlihatnya pinggiran rawa yang berlumpur. Bila lumpur terlihat, maka air sedang meti atau surut.
Berbakat sebagai ‘peramu’
Petrus melanjutkan, warga kampung tidak melulu menghabiskan waktunya di air. Tinggal di wilayah yang dikelilingi oleh tanah gambut dan tidak memiliki jalanan kering, terkadang mereka pergi ke hutan untuk bekerja sebagai peramu.
Peramu sendiri merupakan pekerjaan sebagai pengumpul hasil alam tergantung dari ketersediaan di suatu wilayah. Umumnya, Suku Asmat pergi meramu untuk mencari sagu sebagai bahan makanan pokok.
Salah satu anak Asmat yang cerdas dan suka ikut meramu, Regina Taobire (17) menambahkan, mereka bisa masuk sampai benar-benar ke dalam hutan dengan membawa perlengkapan meramu di antaranya kampak, pangkur sagu, anyaman nampan dan tas bernama noken untuk membawa hasil sagu.
Setibanya di hutan, orang tua akan menentukan pohon mana yang akan ditebang. Kemudian memotong pohon sagu tepat di bagian tengah. Bila nampak sudah mulai rapuh, biasanya bagian tengah akan dilobangi terlebih dahulu untuk mempermudah proses rubuh atau jatuhnya pohon.
Bagian luar pohon sagu akan langsung dibersihkan, kulit bagian luar pohon yang berwarna cokelat dikupas dan daun-daun di sekitar batang diputuskan dengan menggunakan kampak.
Setelah pohon dibersihkan bapak dan mamak (sebutan bagi orang tua di Asmat) segera memangkur bagian batang yang berwarna putih yang nantinya menjadi ampas sagu. Satu pohon sagu bisa menghasilkan 20 hingga 30 kilogram sagu atau tergantung besarnya pohon itu.
Sebagian mamak-mamak akan membuat aliran air berbentuk seperti pipa untuk mengalirkan air dan membersihkan bagian putih tersebut dengan menggunakan sejumlah bagian dari pohon yang tersisa.
Bagian putih dari pohon kemudian diserok menggunakan nampan dan di peras-peras ke dalam aliran air. Proses pembersihan yang disebut sebagai keramas ampas sagu dilakukan dengan mengguyur ampas sagu sebanyak tiga kali sambil diremas-remas hingga sari pati keluar.
Saripati yang keluar kemudian akan berubah menjadi tepung sagu dan dimasukkan ke dalam tas-tas noken. Biasanya anak-anak yang akan membawanya dengan memanggul noken berat itu sampai ke rumah.
Regina mengatakan kalau satu pohon tidak melulu dikerjakan dalam sehari penuh. Bila sudah lelah, mereka akan membawa sagu-sagu yang sudah dibersihkan terlebih dahulu dan meninggalkan sisa pohon di hutan.
“Tida semua itu dibawa, bisa didiami sampai tiga minggu. Nanti jadi ulat-ulat sagu. Biasa kita cempur itu dalam sagu enak kali dalam kuali. Mamakku suka buat, sagunya biasa dibakar dulu to baru dimakan, nanti keras sendiri tidak kami beri bumbu,” ujar Regina.
“Kalau kami hari-hari, anak-anak suka ikut bapak mamak pergi dari pagi sampai siang. Siang-siang nanti sudah pulang, kadang mamak suka masak ikan, masak sayur pakai sagu,” kata Hendrika, anak Suku Asmat lainnya yang sangat kuat memangkur sagu.
Tidak hanya mencari sagu, Suku Asmat juga gemar mencari pohon bernama gaharu. Sebuah pohon yang kayunya sangat wangi. Waktu pengerjaan pun tergantung dari kontrak dengan para pengadah yang biasa berasal dari Bugis, Surabaya dan Jakarta. Suku Asmat bisa bekerja selama enam bulan bahkan satu tahun lamanya.
Erduadus Tinik (39) menyebutkan sekali pergi mencari gaharu, warga akan membentuk kelompok yang berisi setidaknya 20 orang untuk berkumpul. Butuh banyak orang karena saat ini gaharu tumbuh jauh di dalam lumpur. Perlu menusuk-nusuk tanah untuk mencari gaharu dengan kualitas bagus.
“Itu melalui nasib kalau pohon banyak, rezeki ada pada saat itu. Jadi barang melalui rezeki. Saya pernah ada penimbangan sampai Rp5 juta ada pula Rp10 atau Rp15 juta,” kata Eduardus.
“Gaharu itu kayu pohon tapi di dalamnya tidak semua diambil. Ada daging hitam-hitam itu banyak diambil dan diperlukan. Ada cokelatnya, ada hitamnya, kayu daging putihnya dibuang. Tempat gaharunya di kepala-kepala kali sana. Jauh dari kampung ini, di hulu sungai di rimba-rimba,” tambah Petrus.
Semakin tua usia pohon gaharu, bagian pohon yang berwarna hitam dalam gaharu dapat menghasilkan uang hingga puluhan juta rupiah. Sayangnya, terkadang hampir sebagian besar uang yang didapatkan langsung habis untuk membayar hutang mereka bagi keperluan makan selama bekerja ataupun membeli barang dari pengadah.
Sisa uang itulah yang digunakan mereka untuk bertahan hidup termasuk membiayai anak-anak sekolah ke luar kota.
“Saya pernah dapat Rp27 juta, tapi tidak bisa bilang banyak itu. Butuh untuk anak sekolah. Jadi satu sekarang sudah pulang dari Jayapura,” kata Bapak kandung Regina, Yanuarius Wauman (35).
Suku Asmat adalah salah satu harta unik dan berharga bagi Indonesia. Dengan semua bakat-bakat indah yang terbentuk secara alami, seharusnya mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lewat pendampingan secara langsung dari masyarakat ataupun pemerintah.
Bakat Suku Asmat harus diperkenalkan pada dunia. Tertutup rawa-rawa tak bisa jadi halangan bagi Indonesia untuk membangun kesejahteraan sumber daya manusianya sampai ke unit terdalam.
Artikel ini ditulis oleh:
Nurman Abdul Rahman