Jakarta, Aktual.co —Banjir di Jakarta tidak bisa dilihat hanya dilihat dari faktor cuaca atau hujan. Kata pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, ada dua persoalan terkait fenomena banjir di Ibu Kota. Pertama konflik antara manusia dengan air dan tata ruang. Kedua, terkait tata kelola air.
Yayat memaparkan, bicara soal konflik manusia dengan air, maka pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa Jakarta sebenarnya merupakan wilayah dataran banjir. Sejarah itu bisa terlihat dengan banyaknya daerah yang awalnya rawa-rawa.
“Secara filosofi itu bukan daerah pemukiman, tapi sekarang sudah jadi kawasan pemukiman dan rumah air semakin tergeser,” ujar dia, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (13/2).
Parahnya, Jakarta lupa menyediakan kompensasi berupa wadah air ketika ruangnya dirubah. Alhasil, banjir tak terhindarkan. Padahal tata kelola air di Jakarta harus berbicara tentang wilayah hidrologis. Di mana sistem drainase harus melihat fenomena baru. Di mana sekarang semakin banyak daerah yang permukaan tanahnya semakin rendah. “Akibat pengambilan air yang berlebihan dan berubah jadi wilayah hidrologis baru,” ujar dia.
Sehingga upaya seperti pemindahan penduduk ke rumah susun, menurut dia, bukanlah penyelesaian masalah.
Begitu juga dengan penyediaan pompa. Juga bukan penyelesaian masalah. Karena pompa-pompa yang ada saat ini merupakan pompa dari tahun 60-70an.
“Ketika air semakin banyak, pompanya sudah tidak maksimal lagi. Demikian juga dengan drainase kita,” ujar dia.
Daripada mencari kesalahan saat banjir, Yayat menyarankan Pemprov DKI sebaiknya melakukan audit bersama. Terkait dengan sistem drainase, untuk mengetahui seberapa besar Jakarta membutuhkan sistem tersebut.
“Seperti Jakarta utara, sepertinya tidak perlu drainase yang banyak yang diperlukan adalah wadah-wadah penampung air, waduk atau situ, karena permukaannya makin rendah. jadi ketika sistem drainase tidak maksimal lagi, kita perbanyak polder-polde air yang bisa menampung air sebanyak mungkin,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh: