Jakarta, Aktual.com – Bagi bank pelat merah terbesar di Indonesia, PT Bank Mandiri Tbk, sepertinya tak penting menjalankan praktik perbankan yang lazim.
Praktik umum perbankan dalam menghadapi debitur yang bermasalah ataupun macet biasanya mereka menawarkan restrukturisasi dan membantu mencari jalan keluar agar kredit itu tak macet lagi.
Solusi terakhir apabila proses restrukturisasi gagal maka jaminan-jaminan atas kredit bisa dijual. Namun ini tidak dilakukan Mandiri, terutamanya dalam menghadapi debiturnya PT Titan Infra Energy.
Mereka malah ngotot dengan mengajukan lagi gugatan praperadilan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), yang diterbitkan Polri pada Oktober tahun lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 5 September lalu.
Sebelumnya, Mandiri juga mengajukan praperadilan yang sama. Namun, tak jelas apa sebabnya, gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu mereka cabut pada 2 Agustus 2022 silam. Tujuan praperadilan itu jelas.
Kalau gugatan itu dikabulkan hakim, maka polisi harus membuka kembali kasus yang telah mereka hentikan lantaran tidak cukup bukti itu pada Oktober lalu. Ketika itu, atas temuannya sendiri melalui Laporan Polisi Model A, polisi mendalilkan Titan telah melakukan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pencucian uang.
Setelah polisi menerbitkan SP3, giliran Mandiri yang lapor ke polisi pada Desember 2021. Dalam laporannya, Mandiri menuding Titan telah melakukan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang. Namun, laporan ini rontok setelah Titan mempraperadilan kasus ini ke PN Jaksel.
Pada 21 Juni 2022, hakim memutuskan laporan Mandiri itu tak layak dilanjutkan karena kasus yang serupa, dengan bukti serupa, telah dihentikan oleh polisi.
Sikap Mandiri yang mengotot ingin meruntuhkan bisnis debiturnya sendiri itu tentu mengundang tanda tanya, termasuk oleh pengamat bisnis Ibrahim Assuaib.
Menurut Ibrahim, Langkah Mandiri itu jelas kontraproduktif bagi bisnis perbankan, khususnya, dan dunia bisnis umumnya.
“Kalau Mandiri memperlakukan debiturnya seperti memperlakukan Titan, apa mereka enggak takut berhubungan dengan perbankan,” ujar Ibrahim, ketika dihubungi wartawan Rabu (7/9).
Tindakan Mandiri itu akan mencederai iklim usaha di Tanah Air. “Ini buruk sekali dan berpotensi merusak gambaran iklim investasi di Indonesia,” imbuh Ibrahim.
Petinggi Titan pun mengaku tak habis pikir dengan sikap krediturnya itu. Direktur Utama Titan, Darwan Siregar mengatakan, pihaknya memang menjadi debitur dari kreditur sindikasi yang terdiri dari Mandiri, CIMB Niaga, Credit Suize Bank, dan Trafigura Pte Ltd senilai USD 450 juta.
Dalam sindikasi kreditur, Mandiri bertindak sebagai facility agent yang salah tugasnya mendistribusikan uang angsuran Titan kepada kreditur sindikasinya.
Apakah Titan ngemplang utang sebagaimana dituduhkan Mandiri? Darwan tentu menolak tuduhan itu. Namun dia mengakui, dinamika bisnis akibat pandemic Covid-19 membuat perusahaan terkena imbas yang cukup dalam.
“Sehingga pada satu waktu, kita memang tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran seperti yang diperjanjikan,” ungkapnya kepada media di Palembang, Senin (5/9) lalu.
Namun demikian, Titan mampu menutup tunggakan itu. Bahkan lantaran harga komoditas batubara yang makin membaik, Titan pun merivisi proposal restrukturisasinya.
Kalau dalam proposal restrukturisasi pertama meminta tambahan waktu angsuran kreditnya dua tahun, dalam proposal restrukturiasi kedua, Titan hanya meminta tambahan waktu satu tahun .
“Sayangnya, Mandiri belum memproses usulan restrukturisasi ini malah mengajukan gugatan Praperadilan kembali,” imbuh Darwan.
Hingga Juni 2022 silam, beber Darwan, dari utang senilai USD 450 juta itu, Titan telah menyetor uang angsuran ke Debt Service Account Titan di Bank Mandiri total sebesar USD 211,108,393.
Bahkan, beberapa waktu lalu, pihaknya juga sudah berkirim surat ke Mandiri bahwa ada dana sebesar USD 18,5 juta di Debt Service Account yang perlu segera didebet oleh Mandiri. “Nyatanya, itu semua tak direspon,” keluh Darwan.
Ibrahim sendiri menyarankan agar pihak Mandiri dan Titan untuk segera duduk bersama ketimbang bertarung di kantor polisi atau di pengadilan.
Bagaimanapun, perjanjian kredit itu merupakan kesepakatan perdata. Tak elok, bila kesepakatan yang sejatinya menjadi undang-undang para pihak itu bila terus menerus digeret-geret ke masalah pidana.
“Ini tak baik bagi iklim investasi,” pesan Ibrahim.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu