Jakarta, Aktual.co — Tindakan razia POM TNI AL di tempat-tempat publik di kawasan bisnis SCBD, Jakarta Selatan, merupakan tindakan pelanggaran kode etik bila tanpa koordinasi terlebih dulu dengan aparat kepolisian setempat. Terlebih, dalam razia itu oknum POM AL melalukan kekerasan fisik terhadap tiga perwira Polri yang coba mengingatkan bahwa razia yang dilakukan itu tidak berdasar hukum.
Demikian disampaikan pengamat hukum dan keamanan Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat, Muradi, Rabu (11/2).
“TNI itu boleh lakukan razia hanya terhadap anggota TNI saja. Tapi mereka tetap harus kerjasama atau berkoordinasi dulu dengan aparat setempat, semisal Polsek atau Polres. Jadi ada aturannya, tidak bisa razia sembarangan,” ujar Muradi.
Perilaku oknum TNI yang melakukan razia di ruang publik yang tidak jelas dasar hukumnya itulah yang mungkin dijadikan contoh oleh organisasi kemasyarakatan tertentu untuk merazia tempat-tempat hiburan. “Harusnya POM AL beri contoh ke publik agar tidak mudah untuk melakukan razia di tempat publik. Razia itu harus dievaluasi, tidak benar itu, kena pelanggaran kode etik. Kalau razia sembarangan, nanti semua orang bisa lakukan sweeping, seperti yang dilakukan FPI,” ucapnya.
Muradi mengatakan, kalaupun POM AL akan adakan razian, maka razia hanya terbatas pada anggota AL. Hal itu pun harus melalui koordinasi dengan aparat polisi setempat. Karena, TNI saat ini bukan lagi aparatus seperti saat orde baru yang bisa melakukan semua dan seenaknya.
“Harusnya TNI bisa menunjukkan legalitas hukum yang digunakan untuk memasuki ruang publik guna melakukan razia terhadap setiap orang yang ada didalamnya,” katanya.
Semua panglima atau komandan Garnisun memang punya hak untuk memerintahkan prajuritnya memasuki properti seperti cafe, karaoke, hotel dan tempat hiburan lainnya dengan alasan untuk penegakan disiplin. Hanya saja, itu terbatas pada anggota TNI.
“Razia yang disasar harus anggota TNI. Katakanlah, di cafe A dibekingi oknum, maka itu harus dicek. Juga perlu pelibatan gabungan. Biasanya razia yang resmi itu melibatkan 3 angkatan plus Polri. Kalau kemudian ada razia, tanpa koordinasi kemudian ada perwira polisi yang mengingatkan tapi malah dianiaya, ya harus ditegakkan pelanggaran kode etik,” ucap Muradi.
Ketika dikonfirmasi kepada Suryo Prabowo yang pernah menjadi Komandan Garnisun DKI Jakarta, disampaikan bahwa penegakan disiplin TNI bisa dilakukan dengan cara lain selain razia arogan yang melanggar properti publik. “Razia seperti itulah yang lalu ditiru oleh ormas tertentu untuk lakukan razia di tempat-tempat hiburan,” katanya.
Razia militer, kata Suryo, hanya dilakukan oleh tentara penjajah di negara jajahannya seperti waktu Belanda di Indonesia dan AS di Vietnam. “Ketika sebagai komandan Garnisun, saya tidak pernah mengeluarkan perintah untuk melakukan razia karena saya tidak mau Jakarta disamakan dengan kota-kota di negara jajahan,” ucap Suryo.
Diketahui, tiga perwira kepolisian yakni Kompol Arsya dan Kompol Budi Hermanto dan Iptu Rovan (anggota Subdit Jatanras Ditrekrimum Polda Metro Jaya) menjadi korban penganiayaan oknum Pomal yang melakukan razia di Cafe di kawasan SCBD Jakarta Selatan Sabtu (7/2) dinihari.
“Padahal sudah ditunjukkan (surat tugas) sprintnya, kalau mereka sedang ada tugas di situ tetapi mereka tidak percaya,” ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Heru Pranoto.

Artikel ini ditulis oleh: