Jakarta, Aktual.com – Vape kian populer di Indonesia. Menurut data yang dilansir Global Adult Tobacco Survey, pada 2021 saja tercatat sudah ada lebih dari enam juta pengguna vape dalam negeri.
Seiring dengan pertumbuhannya, kesimpangsiuran informasi seputar vape masih sering muncul di publik.
Misalnya, baru-baru ini tersiar rumor seputar penyakit popcorn lung yang disebabkan oleh vape ilegal. Selain itu, misinformasi vape sebagai penyebab gagal ginjal pun cukup ramai diperbincangkan.
Mengutip dari situs inovasitembakau.com, Direktur Eksekutif dari The Coalition of Asia Pacific Tobacco Harm Reduction Advocate (CAPHRA) Nancy Loucas menjelaskan, di banyak negara umumnya kasus-kasus negatif seputar rokok elektrik sering kali merupakan kasus ‘impor’ yang belum tentu sesuai dengan karakteristik pengguna di negara terkait.
Lalu, apa saja kesalahpahaman vape yang sering terjadi? Berikut ulasannya.
Kasus popcorn lung atau bronchiolitis obliterans merupakan kondisi mengecilnya saluran udara di paru-paru sehingga menyebabkan batuk dan napas pendek.
Kesalahpahaman bermula ketika lelaki berusia 17 tahun di Kanada harus dilarikan ke instalasi gawat darurat rumah sakit, karena sesak nafas setelah menggunakan rokok elektrik.
Sumber berita (NBCnews) menyatakan pria tersebut sempat menggunakan likuid dengan tambahan THC.
Sebagai informasi, THC atau Tetrahidrocannabinol adalah zat psikotropika yang berasal dari tanaman ganja atau cannabis. Padahal Food & Drugs Administration (FDA), lembaga pengawas makanan dan obat Amerika Serikat melarang penggunaan minyak THC sebagai campuran likuid untuk vaping.
Begitu pula di Inggris, berdasar keterangan Cancer Research UK, Inggris melarang penggunaan diasetil, zat serupa THC, dalam campuran vape. Sampai saat ini tidak ditemukan kasus popcorn lung di Inggris.
Penelitian yang dilakukan oleh Yale School of Public Health pada 2020 menyatakan bahwa tuduhan vape sebagai penyebab popcorn lung bisa dikatakan tanpa dasar.
Pada penelitian disebutkan bahwa penyebab utama kasus popcorn lung adalah vitamin E asetat yang ditambahkan pada cartridge yang mengandung THC.
Sejauh ini, zat tersebut tidak bisa dicampurkan pada likuid vape dan enggan larut dengan nikotin cair. Sehingga selain tidak dianjurkan dan tergolong ilegal, penggunaan juga berisiko tinggi terhadap kesehatan.
Tidak Menyebabkan Gagal Ginjal
Kasus gagal ginjal akut di Indonesia ditengarai disebabkan oleh cemaran zat etilen glikol (EG) dan politetilen glikol (PEG). Beberapa pihak mengaitkan zat tersebut dengan vape, lalu menyimpulkan vape dapat menyebabkan gagal ginjal.
Faktanya, adapun zat pelarut yang digunakan dalam cairan vape adalah propilen glikol (PG), bukan PEG dan EG. Pakar Toksokologi, dr. Shoim Hidayat menjelaskan bahwa potensi vape bisa menyebabkan gagal ginjal sangat kecil.
Menurutnya PG punya tingkat bahaya yang sangat rendah sehingga efek sampingnya tidak signifikan. Ia menambahkan PG juga umum digunakan tidak hanya untuk obat, tetapi juga makanan, kosmetik, dan keperluan industri lainnya.
Saat ini kasus gagal ginjal akut sedang dalam penyelidikan ilmiah di bawah Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pemerintah sedang mencari tahu penyebab pasti dari kasus gagal ginjal yang terjadi di Indonesia.
Risiko Kesehatan
Perbandingan risiko antara vape dan rokok bukanlah perbincangan baru. Banyak penelitian telah dilakukan untuk memberikan bukti bahwa vape tergolong lebih rendah risiko dibandingkan rokok konvensional, seperti penelitian dari Royal College of Physicians London pada 2016 yang menyatakan bahwa sejauh ini vape dinilai punya kandungan yang lebih rendah risiko karena tidak menghasilkan TAR serta tanpa zat kimia yang menyebabkan kanker.
Studi The National Academics of Science Engineering Medicine pada 2018 malah sudah membuktikan bahwa vape merupakan gerbang untuk berhenti merokok bagi orang dewasa. Selain kadar kimia yang lebih rendah, menggantikan rokok dengan vape juga sudah terbukti dapat mengurangi risiko kesehatan organ secara signifikan.
Adiksi Pada Vape
Studi yang dilakukan oleh Research Square LLC pada pengguna vape dan rokok di Amerika Serikat membuktikan bahwa vape memiliki potensi penyalahgunaan lebih rendah daripada rokok konvensional. Tidak hanya itu, penelitian Research Square LLC juga menunjukkan bahwa kemungkinan individu mengalami kecanduan terhadap vape jauh lebih kecil dibandingkan dengan individu yang menggunakan rokok konvensional.
Penelitian yang diterbitkan pada 2022 itu juga mendukung argumen bahwa vape terbukti lebih efektif dalam membantu mengurangi kebiasaan merokok, bahkan lebih efektif dibandingkan dengan produk seperti nikotin patch yang digunakan pada kulit dan permen karet nikotin.
Asap Vape
Mengacu dari penelitian yang dilakukan oleh National Center for Biotechnology Information di Amerika Serikat menjelaskan bahwa hasil emisi vape memiliki kadar bahan kimia yang lebih sedikit ketimbang dengan asap rokok.
Emisi asap rokok juga bertahan lebih lama dibandingkan dengan vape (sekitar 20-40 menit), sedangkan aerosol vape akan menghilang dalam kurun waktu kurang dari 2 menit. Sejauh ini menurut National Health Service UK, belum ada bukti kuat bahwa aerosol vape dapat membahayakan orang di sekitar Ahli toksikologi Universitas Airlangga Shoim Hidayat juga membeberkan bahwa kandungan vape lebih rendah risiko ketimbang dengan rokok konvensional.
Shoim menjelaskan bahwa kandungan TAR (Total Aerosol Residue) yang biasa ditemukan pada rokok, tidak terdapat dalam vape. Proses pemanasan yang terjadi pada vape tidak menghasilkan asap dan memiliki risiko 90 persen lebih rendah daripada rokok.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu