Ketua KODI DKI Jakarta, KH. Jamaluddin F Hasyim, SHI, MH

aktual.com – “Ritual” tahunan Umat Islam di Indonesia setiap akhir tahun selalu berputar soal ucapan selamat Natal dan perayaan malam tahun baru.

Sebetulnya kajiannya sudah tuntas, para pakar dari ulama sudah bicara, dari berbagai aliran dengan kesimpulan hukumnya masing-masing. Memang persoalannya bukan pada hukumnya saja yang masuk ranah fiqh. Persoalan yang belum tuntas justru ketika sebagian melihatnya sebagai persoalan hukum fiqh yang berarti ranah furu’iyah ijtihadiyah, sementara sebagian lain melihatnya sebagai persoalan Aqidah yang bersifat ushuliyah. Kalau sesama ranah fiqih kita mengenal kaidah “Ijtihad tidak bisa membatalkan Ijtihad yang lain”

(الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد)

Seorang Mujtahid, dalam ukuran kompetensi tertentu, memiliki level yang sama dengan sesama Mujtahid yang lain. Kecuali jika satu Mujtahid vis a vis mayoritas Mujtahid di jamannya, tentu pendapatnya diposisikan dibawah pendapat mayoritas tersebut.

Dalam ranah fiqih, perbedaan ijtihad tidak membawa kata sesat, atau bahkan kafir. Paling jauh disebut keliru atau salah. Wajar saja toh yang menyimpulkan suatu hukum pasti melihat pandangan hukum mujtahid lainnya sebagai keliru dan karenanya dia tidak mengambil kesimpulan itu. Maka terkenal ungkapan ulama di masa lalu Wallahu A’lam bis Showab (Allah yang paling tahu mana yang benar). Inilah bentuk ketawadhuan ulama masa lalu. Ulama jaman sekarang boleh jadi kadar toleransinya jauh berkurang kepada pendapat yang berbeda.

Persoalannya jadi lain kalau dianggap sebagai persoalan Aqidah yang bersifat mutlak dan zonder toleransi. Wilayah Aqidah disebut Ushul (pokok) yang sangat fundamental sehingga tidak banyak ruang untuk beda pendapat. Perbedaan dalam perkara Ushul ini akhirnya membedakan antara “kita” dan “mereka” atau diistilahkan sebagai “minna” dan “minhum”. Perbedaan dalam bidang Aqidah biasanya menggunakan istilah sesat, dan bahkan kafir. Inilah ngerinya jika persoalan yang sebenarnya masuk ranah fiqhiyah dibawa ke ranah ushuliyah. Efeknya mereka yang beda pendapat dianggap sesat atau malah kafir. Di sebagian kalangan Sunni misalnya, mereka memperlakukan kalangan beda aliran sebagai kafir. Maka tidak ada toleransi bagi kaum Syi’ah misalnya, atau Islam Adat yang hidup di masyarakat tertentu.

Saya tidak bermaksud memberikan pendapat hukum soal ucapan Selamat Natal dan Perayaan Tahun Baru karena sadar bukan kapasitas diri ini untuk memberikan fatwa. Saya cuma mengajak kita bertoleransi dalam perbedaan pendapat ini ,biarlah pendapat-pendapat yang ada itu sebagai kekayaan khazanah intelektual kita dan sebagai pilihan mana yang patut kita ikuti atau tidak.

Malam Tahun Baru memang berasal dari tradisi Kaum Masihi (Kristen), namun ia telah menjadi konvensi internasional soal penentuan waktu. Jika kita menolak ikut karena berpandangan semacam itu, tapi libur dan kumpul keluarganya tetap kita bisa manfaatkan sebagai halalan thoyiban. Bukankah silaturahmi itu diajarkan dalam agama, atau menyenangkan keluarga juga sedekah yang sangat besar pahalanya?

Jamaluddin F Hasyim
Ketua KODI DKI Jakarta

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain