Jakarta, Aktual.co — Bulan Februari, tepatnya tanggal 14 Februari adalah hari yang sangat dinanti oleh sebagian besar generasi muda di berbagai belahan dunia, masyarakat dunia pun telah mengakui dan menganggap hari itu sebagai hari yang sangat ‘sakral’ dalam ‘dunia percintaan’. Sehingga menurut sebagian orang, hari tersebut layak untuk diperingati bersama dengan orang-orang yang disayangi.
Betapa tidak, hari pertengahan bulan Februari itu dimaknai sebagai hari kasih sayang, atau sejarah mencatatnya dengan istilah ‘Valentine’s Day’.
Hari Kasih Sayang juga sangat popular di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muda, bahkan hari ‘spesial’ di bulan Februari telah merambah hingga ke pelosok Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya symbol-simbol atau iklan untuk mengekspos dan melestarikan budaya penyembah berhala zaman Romawi kuno tersebut.
Berbagai tempat hiburan mulai dari diskotik, hotel-hotel, mall, hingga pusat perbelanjaan dan toko-toko kecil pun turut larut dalam hingar-bingar ‘pembodohan’ itu. Sehingga, tanpa disadari anak muda dan kelompok-kelompok pelajar pun dicekoki dan terseret oleh perayaan tahunan yang tidak jelas itu.
Tidak ada kejelasan, siapakah sesungguhnya yang bernama Valentine. Beragam kisah dan semuanya hanyalah dongeng tentang sosok Valentine ini. Tetapi setidaknya ada tiga dongeng yang umum tentang siapa Valentine.
Pertama, St Valentine adalah seorang pemuda bernama Valentino yang kematiannya pada 14 Februari 269M, karena eksekusi oleh Raja Romawi, Claudius II (265-270). Eksekusi yang didapatnya ini karena perbuatannya yang menentang ketetapan raja, memimpin gerakan yang menolak wajib militer dan menikahkan pasangan muda-mudi, yang hal tersebut justru dilarang. Karena pada saat itu aturan yang ditetapkan adalah boleh menikah jika sudah mengikuti wajib militer.
Kedua, Valentine seorang pastor di Roma yang berani menentang Raja Claudius II dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan menolak menyembah dewa-dewa Romawi. Ia kemudian meninggal karena dibunuh dan oleh gereja dianggap sebagai orang suci.
Ketiga, seorang yang meninggal dan dianggap sebagai martir, terjadi di Afrika di sebuah provinsi Romawi. Meninggal pada pertengahan abad ke-3 Masehi. Dia juga bernama Valentine.
Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan kata“Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”.
Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, Tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “To be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut syirik, artinya menyekutukan Allah SWT.
Adapun Cupid (berarti: the desire, red), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “The Hunter” Dewa Matahari. Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri.
Bila kita cermati, kaum muslimin ikut merayakan Valentine’s Day, karena minimnya pemahaman umat Islam tentang hakekat hari tersebut. Muslim-muslimah banyak yang tidak faham latar belakang dan sejarah munculnya ‘Valentie’s Day’ yang notabene bukan dari Islam. Di sisi lain, pemahamam mereka terhadap ajaran Islam sendiri juga sangat lemah.
Aqidah yang tidak menancap kuat dan ketidaktahuan akan hukum-hukum syariat Islam terkait dengan perbuatan, membuat umat Islam begitu bodoh dan mudah tertipu. Sehingga, begitu muncul produk atau aktivitas-aktivitas baru yang sebetulnya bertentangan dengan Islam, mereka tidak memiliki kemampuan menyaring, memilah atau membandingkan, apakah ini halal atau haram, boleh atau tidak. Akhirnya, tanpa mereka sadari mereka mengikuti saja arus yang mengalir di masyarakat.
Bagaimana dengan perayaan Valentine’s Day yang dilakukan sepasang suami istri? Setali tiga uang alias sama saja. Dalam hal ini mereka terkena hukum tasyabuh, yakni mengikuti kebiasaan orang kafir. Ya, sebab Valentine’s Day adalah hari raya milik orang kafir yang tidak boleh diikuti kaum muslimin. Perayaan hari besar adalah menyangkut masalah aqidah dan sama sekali tidak ada toleransi dalam hal ini.
Al Quran maupun Sunnah secara syar’i melarang tasyabuh dalam segala bentuk dan sifatnya, baik masalah aqidah, ibadah, budaya, maupun tingkah laku. Allah berfirman dalam Surat An Nisaa: 115 yang artinya:
”Dan, barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
Rasulullah SAW juga bersabda “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alayhi amrunaa fa huwa raddun” yang artinya: “Siapa saja melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka perbuatan itu akan tertolak” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan umat dan menjaga keluhuran budaya serta nilai-nilai religius bangsa ini maka hendaknya setiap masyarakat mampu memilih dan memilah berbagai pengaruh yang meluncur bebas masuk di Indonesia, begitu pun dengan generasi muda agar tidak latah lalu mengekor pada gaya hidup orang-orang luar yang bertentangan dengan nilai-nilai religius bangsa ini.
Dan, yang terpenting adalah kembali pada tatanan kehidupan berdasarkan prinsip suci dan nilai-nilai Islam karena hal tersebut merupakan satu-satunya solusi bagi seluruh problem dan persoalan hidup manusia. Wallahu a’lam bisshawaab.
(Sumber: Islam Pos)
Artikel ini ditulis oleh: