Jakarta, Aktual.com – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) Riau M. Syahrir (MS) sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“KPK kembali menetapkan MS tersangka tindak pidana pencucian uang,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa (21/2).
Ali menerangkan penyidik telah menemukan bukti yang cukup adanya upaya oleh MS menyamarkan dan menyembunyikan aset hasil tindak pidana korupsi.
Tim penyidik KPK saat ini telah menyita berbagai aset yang memiliki nilai ekonomis tinggi, antara lain berupa tanah dan bangunan serta uang tunai berjumlah sekitar Rp1 miliar
“Penelusuran dan pelacakan aset-aset lainnya akan terus dilakukan dalam rangka memaksimalkan aset recovery,” ujarnya.
Ali juga mengatakan pihak KPK membuka pintu kepada masyarakat yang mempunyai informasi mengenai keberadaan aset yang diduga berasal dari hasil korupsi MS
“Peran masyarakat sangat kami butuhkan, silakan laporkan kepada KPK terkait adanya dugaan aset terkait perkara ini,” kata Ali.
Sebelumnya penyidik KPK pada Kamis, 27 Oktober 2022, mengumumkan penetapan tiga orang tersangka dugaan suap terkait pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) di Kanwil BPN Provinsi Riau.
Mereka adalah mantan Kakanwil BPN Provinsi Riau M. Syahrir (MS), swasta/pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) Frank Wijaya (FW), dan General Manager PT AA Sudarso (Sd).
Atas perbuatannya, FW dan Sd sebagai pemberi suap disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, MS sebagai penerima suap melanggar pasal 12 huruf (a) atau pasal 12 huruf (b) atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam konstruksi perkara, KPK menyebut FW sebagai pemegang saham PT AA memerintahkan dan menugaskan Sd untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sd selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya kepada FW. Selanjutnya, Sd menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS membahas, antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Pada Agustus 2021, Sd menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), yang salah satunya ditujukan juga kepada Kanwil BPN Provinsi Riau.
KPK mengungkapkan Sd kemudian menemui MS di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40 persen dan 60 persen sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA.
Dari pertemuan tersebut, Sd lalu melaporkan permintaan MS kepada FW dan Sd kemudian mengajukan permintaan uang 120 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp1,2 miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh FW.
Sekitar September 2021, atas permintaan MS, penyerahan uang 120 ribu dolar Singapura dari Sd dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar Sd tidak membawa alat komunikasi apapun.
Setelah menerima uang tersebut, MS kemudian memimpin ekspose permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan itu bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuansing yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar, Riau.
Terkait penerimaan uang tersebut, KPK menduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan di antaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor BPN Kabupaten Kampar.
KPK juga menduga dalam kurun waktu September 2021 hingga 27 Oktober 2021, MS menerima aliran sejumlah uang, baik melalui rekening bank atas nama pribadi MS maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut, sejumlah Rp791 juta yang berasal dari FW.
Selain itu, pada kurun waktu tahun 2017 hingga 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi lain. Hal tersebut akan didalami dan dikembangkan tim penyidik KPK.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu