Jakarta, aktual.com – Ibadah harta yang disyariatkan dalam bentuk zakat, infak, sedekah, dan wakaf merupakan cermin dari keyakinan bahwa semua anugerah itu berasal dari Allah swt. Manusia bertugas memanfaatkan semuanya untuk kebaikan.
Keyakinan seperti ini bersifat konstan tidak berubah dalam semua kondisi, baik kondisi senang atau susah, lapang atau sempit, sehat atau sakit, serta banyak kebutuhan atau tidak banyak kebutuhan.
Justru ziswaf diharapkan menjadi solusi dan bukti akan keimanan kita terhadap kepemilikan Allah swt. Nabi Muhammad saw dalam salah satu sabdanya menyebut ibadah harta sebagai bukti keimanan, yang digandengkan dengan shalat, sabar, dan Al-Qur’an.
وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Shalat adalah cahaya, sedekah merupakan bukti, sabar itu sinar panas, sementara Al-Qur’an bisa menjadi pembelamu atau sebaliknya, menjadi penuntutmu” (HR. Muslim).
Secara analisis bahasa, Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim menjelaskan, penggunaan istilah sedekah karena satu akar kata dengan kata “ash-Shidqu” (huruf ص, د, ق) yaitu jujur dan benar.
Sehingga sedekah menunjukkan kejujuran dan kesungguhan iman seseorang. Beliau menuturkan:
أي: دليل على صحة إيمان صاحبها، وسميت صدقة؛ لأنها دليل على صدق إيمانه، وبرهان على قوة يقينه.
“Sedekah adalah dalil atas kebenaran keimanan seseorang. Itulah mengapa dinamakan sedekah karena menunjukkan jujurnya keimanan seseorang dan bukti kuatnya keyakinannya” (Syarah Muslim, 3: 86).
Hal ini menguatkan bahwa fitrah manusia sangat cinta harta, bahkan terkadang berlebih-lebihan, sebagaimana firman Allah swt yang artinya, “Dan sungguh manusia itu sangat cinta kepada harta (khoir)”. (QS. Al-Adiyat: 8).
Hanya keimanan yang kuat yang mampu menahan diri dari kecenderungan ini. Begitu besar cinta manusia terhadap harta, sampai Rasulullah menyebut harta sebagai fitnah terbesar bagi umatnya.
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah (ujian), dan fitnah umatku adalah harta” (HR. Bukhari).
Pada tataran prakteknya, ibadah harta dapat dijalankan dalam berbagai keadaan, termasuk dalam keadaan sulit dan sempit. Justru itulah pembuktian tertinggi dari keimanannya. Allah swt berfirman mengingatkan agar tidak terjerumus ke dalam kebinasaan karena meninggalkan ibadah harta di surat Al-Baqarah: 195,
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Di dalam sebuah hadits juga diingatkan tentang doanya malaikat di setiap pagi kepada seorang yang berinfak dan seorang lain yang bakhil menahan diri dari beribadah harta,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak satu hari pun di mana pada pagi harinya seorang hamba ada padanya, melainkan dua Malaikat turun kepadanya, salah satu di antara keduanya berkata: ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak.’ Dan yang lainnya berkata: ‘Ya Allah, binasakan (harta) orang yang kikir”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentang ayat perintah agar berinfak dalam semua keadaan, termasuk kondisi sulit agar terhindar dari kebinasaan dalam semua aspek kehidupan, Syekh As-Sa’di mengemukakan pandangan tafsirnya,
“Allah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berinfak di jalanNya, yakni mengeluarkan harta pada jalan-jalan yang menyampaikannya kepada Allah, yaitu segala Jalan kebaikan seperti sedekah kepada orang miskin atau kerabat dan berinfak kepada orang yang wajib diberikan nafkah.
Dan yang paling besar dan paling pertama termasuk di dalamnya adalah berinfak di jalan Allah, karena sesungguhnya berinfak jihad dengan harta”.
Sedangkan frasa, “Dan janganlah Kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan,” adalah penjelasan illat sebab bagi hal tersebut. Yaitu tindakan menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan itu terpulang pada dua perkara; meninggalkan perkara yang diperintahkan kepada hamba apabila tindakan meninggalkannya itu mengharuskan atau mendekatkan kepada rusaknya tubuh atau jiwa, dan melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya jiwa atau ruh.
Maka perkara ini meliputi banyak sekali hal-hal lainnya. Diantaranya meninggalkan infak di jalan Allah swt.
Termasuk juga seorang yang menjatuhkan dirinya dalam peperangan atau perjalanan yang menakutkan, atau di tempat binatang buas atau ular, atau memanjat pohon atau bangunan yang berbahaya, atau memasuki sesuatu yang mengandung bahaya dan semacamnya; hal seperti ini dan yang semacamnya adalah diantara yang menjatuhkan diri kepada kehancuran.
Dan diantara hal itu juga adalah hidup dengan kemaksiatan terhadap Allah dan berputus asa dari bertaubat kepada Allah. Juga Meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dari kewajiban-kewajiban, dimana tindakan meninggalkannya itu akan menyebabkan kehancuran bagi jiwa maupun agama.
Karena berinfak dijalan Allah adalah salah satu bentuk dari bentuk-bentuk kebajikan, maka Allah memerintahkan untuk berbuat kebajikan secara umum seraya berfirman, “dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Senada dengan penafsiran di atas, Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaily dalam kitab Tafsir Al-Wajiz menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengemukakan bahwa berinfak merupakan solusi agar terhindar dari kebinasaan, karena kebakhilan membawa kepada kehancuran.
Maka perintah Allah swt agar hamba-hambaNya berinfak dalam ketaatan kepada Allah.
Sesungguhnya Allah akan memberi pahala orang-orang baik yang mengorbankan hartanya untuk taat kepadaNya.
Pandangan tafsir di atas diperkuat dengan sebab nuzul ayat yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar yang kembali berfikir tentang ibadah harta, sebagian mereka lebih sayang kepada harta dengan berfikir hanya dibelanjakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, dengan alasan agar tidak mendapat kesulitan sehingga akan terjerumus ke dalam kebinasaan seperti kemiskinan dan kafakiran.
Maka Abu Ayyub Al-Anshari ra berkata, “Wahai manusia! Sesungguhnya kalian menta’wil ayat ini dengan ta’wil bahwa ada seorang dari kaum muslimin yang masuk ke barisan musuh, lalu ada yang berteriak dan berkata, “Subhaanallah! Ia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.”, padahal ayat tersebut turun mengenai kami kaum Anshar ketika Allah telah memenangkan kami, lalu sebagian kami berkata kepada yang lain secara bisik-bisik tanpa memperhatikan Rasulullah saw, “Sesungguhnya harta kita telah habis, dan Allah telah menguatkan Islam serta memperbanyak pembelanya, apa tidak sebaiknya kita mengurus harta kita dan memperbaiki yang habis daripadanya.” Maka Allah swt menurunkan ayat ini untuk membantah perkataan kami, “Wa anfiquu fii sabiilillah walaa tulquuu bi-aydiikum ilat tahlukah”. Maka, kebinasaan yang dimaksud adalah ketika sibuk mengurus harta dan meninggalkan infak di jalan Allah swt”.
Insya Allah kita semua selalu diingatkan oleh Al-Qur’an dan hadits nabi saw, serta praktek para sahabat, tabi’in, dan para ulama amilin, para dermawan dan dermawati untuk selalu berusaha beribadah harta dalam berbagai keadaan.
Karena yakin semuanya akan mendapat ganti yang terbaik di sisi Allah swt, di dunia dan di akhirat kelak. Sebagaimana janji Allah swt kepada semua yang berinfak tanpa terkecuali,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39) (KH. Dr. Atabik Luthfi, Lc, MA)
(Yakesma)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain