Oleh: Dr. KH. Muhammad Choirin, Lc. MA
Jakarta, aktual.com – Dikisahkan, sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Hurairah melaksanakan i’tikaf di Masjid Nabawi. Dalam suasana keheningan penuh khusyu’, ia mendengar suara rintihan dari seseorang mengadukan persoalan hidupnya kepada Allah. Di puncak kelezatan munajat tersebut, ia tertarik untuk mengetahui persoalan dan menanyakan hal yang membuatnya bersedih.
Setelah mendapat jawaban, Abu Hurairah pun berkata. “Wahai ayahanda, maukah kau pulang bersamaku, mungkin saya mendapati sesuatu yang dapat meringankan beban hidupmu,” ajak Abu Hurairah.
Mendengar tawaran Abu Hurairah, orang tersebut menjawab: “Wahai anakku, apakah engkau akan meninggalkan kelezatan i’tikaf di Masjid Nabawi ini hanya karena ingin menolongku?” Abu Hurairah pun menjawab: “Ya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Sungguh berjalannya seseorang di antara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, lebih baik baginya daripada i’tikaf di masjidku ini selama sebulan.’” (HR. Thabrani & Ibnu Asakir).
Sebuah keteladanan terbaik dari generasi terbaik. Di mana orang yang memiliki kecukupan harta mempunyai rasa kepedulian yang tinggi, sedangkan pihak yang papa memiliki harga diri dan tidak tamak terhadap segala bantuan yang ditawarkan.
Seorang Muslim dididik untuk menjadi orang yang memiliki semangat memberi manfaat kepada sesama, memiliki karakter nafi’un li ghairihi (bermanfaat bagi orang lain). Spirit ini tentu sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh kiprah kemanfaatan bagi sesama.
Bahkan manusia terbaik adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni)
Hal ini mengindikasikan bahwa Islam hadir bukan hanya mengakomodir obsesi individual, tetapi menginginkan kebahagiaan komunal. Bukan sekedar memikirkan masa depan dirinya, tetapi memperjuangkan keharmonisan masyarakatnya. Terdapat tiga alasan, mengapa kedermawanan sangat dicintai Islam.
Pertama, penghuni surga. Salah satu ciri orang yang akan dimasukkan ke dalam surga adalah golongan yang selalu berupaya memberi bantuan kepada orang lapar (it’am al-tha’am). “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan/76: 8)
Jika surga adalah obsesi tertinggi orang beriman, maka komitmen orang beriman untuk melakukan advokasi dan pemberdayaan terhadap orang miskin.
Kedua, abai terhadap orang miskin adalah penyebab masuk neraka. Neraka adalah tempat bagi mereka yang egois, individualis dan anti-sosial.
Artinya: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.’” (QS. Al-Muddatsir/74: 42-44)
Abai terhadap miskin dapat menjadi penyebab masuk ke dalam api neraka.
Ketiga, pendusta agama. Pendusta agama bukan hanya mereka yang anti tuhan (atheis), bukan hanya yang melakukan interpretasi ayat suci tanpa pijakan ilmu, namun orang yang mencampakkan anak yatim dan tidak memiliki komitmen membantu fakir miskin. Allah berfirman: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.” (QS. al-Ma’un/71: 1-4)
Ayat-ayat di atas merupakan legitimasi yang amat kuat tentang komitmen Islam terhadap golongan lemah. Sejarah Nabi Muhammad SAW adalah bukti nyata bahwa Islam selalu hadir menyelesaikan permasalahan masyarakat. Dengan kerangka ini pula, mencela kegelapan bukanlah sebuah kebijaksanaan, marilah menyalakan lilin dengan turut memberi solusi di tengah persoalan masyarakat.
(Yakesma)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain