Jakarta, aktual.com – Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto menyatakan pernikahan beda agama di Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

“Menurut saya bertolak belakang dengan Pancasila, terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini mengatur tentang bagaimana semua warga negara wajib menganut agama,” kata Yandri Susanto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7).

Yandri mengemukakan hal itu menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama melalui putusan yang disebutkan bahwa calon mempelai laki-laki, JEA, adalah seorang Kristen dan calon mempelai wanita, SW, adalah penganut agama Islam.

“Kami menganggap kalau itu tetap dilegalkan, itu artinya PN Jakarta Pusat, menurut syariat Islam, itu melegalkan perzinaan. Saya kira tidak boleh disetujui,” katanya menegaskan.

Yandri bersama salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam akan mendaftarkan permohonan pembatalan putusan PN Jakarta pusat tersebut.

Ia menilai putusan PN Jakpus itu berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penolakan itu tertuang dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022. Permohonan diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Sebelumnya, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernikahan beda agama melalui putusan yang disebutkan bahwa calon mempelai laki-laki, JEA, adalah seorang Kristen dan calon mempelai wanita, SW, beragama Islam.

Bahkan, PN Jakarta Selatan juga telah lebih dahulu mengabulkan permohonan izin nikah untuk pasangan beda agama.

Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan mencatat ada empat pernikahan beda agama sepanjang 2022

Keterangan dari Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan menyebutkan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Dalam penjelasannya, disebutkan yang dimaksud dengan “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama.

Berikutnya Pasal 7 ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Rizky Zulkarnain