Taujih Syeikh DR Yudi Latif (kiri) bersama Khodim Zawiyah Arraudhah Al Akh Muhammad Danial Nafis (kanan) saat acara Kajian Spesial Ramadhan di Zawiyah Arraudah, Jalan Tebet Barat VIII, No 50, Jakarta Selatan, Minggu (4/6/2017). Dalam kajian Spesial Ramadhan ini yang bertamakan "Pancasila dalam Tasawuf Islam". AKTUAL/Munzir

Demokrasi Majemuk adalah sebuah tulisan inspiratif karya cendikiawan muslim, Yudi Latif.

Saudaraku, gelombang pasang politik identitas destruktif di berbagai belahan bumi menunjukkan gejala ketergagapan demokrasi dalam menangani kecenderungan pluralisasi etno-kultural.

Hal itu tergambarkan dalam buku The Great Experiment: Mengapa Demokrasi Majemuk Berantakan dan Bagaimana Mereka Dapat Bertahan, karya Yascha Mounk (2022).

Perkembangan demokrasi sejak awal pertumbuhannya seperti di Athena hingga demokrasi modern di AS terbiasa menangani masyarakat homogen, atau masyarakat plural dengan suatu identitas dominan yang mengekang yang lain.

Kerajaan atau kekaisaran lebih efektif dalam menangani masyarakat heterogen. Alasannya, dalam kerajaan (kekaisaran), rakyat tidak terlalu berpengaruh dalam menentukan hukum dan kebijakan. Dalam demokrasi, peran rakyat sangat menentukan, oleh karena itu setiap kelompok bersaing untuk mempengaruhinya.

Sejauh ini, belum pernah ada demokrasi yang berhasil menangani masyarakat majemuk secara setara, dengan memperlakukan segala golongan dengan adil. Masyarakat heterogen telah lama menderita akibat dominasi kelompok mayoritas atau minoritas, dan anarki permusuhan antarkelompok karena lemahnya otoritas pemerintahan. Banyak orang pesimis bahwa masyarakat heterogen bisa hidup berdampingan dalam harmoni, lalu tergoda seruan fasistik.

Untuk menjawabnya, demokrasi harus menjalani proses eksperimen yang baru. Demokrasi semakin perlu mengembangkan budaya kewarganegaraan multikultural dengan menghormati perbedaan secara setara sambil mengupayakan kerangka titik temu. Tidak dalam bentuk “melting-pot” ala AS yang memaksa golongan minoritas berasimilasi pada kelompok dominan. Tidak dalam bentuk “salad bowl” ala Lebanon, yang memberikan wilayah terpisah bagi setiap golongan tanpa ruang peleburan. Bentuk idealnya adalah sejenis “public park”, yang memberikan ruang bersama bagi masing-masing identitas sambil menyediakan arena permainan bersama, di mana berbagai kelompok dapat terlibat dan bersatu.

Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik inklusif yang menjamin kesetaraan politik dan kesempatan; tidak hanya mengakomodasi suara mayoritas, tetapi juga melindungi golongan minoritas-marjinal dan asal-usul teritorial, dengan kemampuan tata kehidupan yang adil dan sejahtera.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan