Jakarta, Aktual.com – Dedi Sucahyono, seorang Pemerhati Iklim, menganggap gerakan masyarakat untuk secara aktif menyirami lingkungan mereka, termasuk halaman rumah dan jalanan secara rutin setiap hari, sebagai salah satu langkah untuk mengurangi polusi udara selama musim kemarau.
“Diperlukan pendidikan kepada masyarakat sesegera mungkin agar mereka dapat melakukan tindakan ini,” kata Dedi Sucahyono dalam pernyataannya di Jakarta pada hari Selasa.
Dedi, yang juga adalah Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Jakarta, menambahkan bahwa untuk menghemat air, sebaiknya menggunakan air bekas cucian, seperti air cucian pakaian atau sayuran, untuk menyiram lingkungan.
Ia menyampaikan bahwa tingkat polutan (PM2.5) di DKI Jakarta pada hari Senin (14 Agustus) pukul 08.00 WIB mencapai angka 153 pada Indeks Kualitas Udara (AQI).
Sementara itu, berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara IQAir pada hari Selasa (15 Agustus), AQI di Jakarta berada di angka 113, yang masuk dalam kategori tidak sehat.
Dedi menyatakan bahwa gas buang dari kendaraan sering dianggap sebagai penyebab utama tingginya tingkat polusi di DKI Jakarta. Namun, ia menekankan bahwa polutan yang berasal dari material lain, seperti debu dari permukaan tanah, bangunan, atau jalan, juga berkontribusi secara signifikan terhadap polusi udara.
Ia menambahkan bahwa aktivitas gesekan antara permukaan jalan dan ban kendaraan juga banyak menghasilkan debu halus sebagai partikel udara dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer), yang dikenal sebagai PM 2.5.
“Jadi, peran gas buang kendaraan bukanlah satu-satunya faktor yang mendukung polusi udara di wilayah Jabodetabek,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa selama musim kemarau yang kering, polutan tersebut tetap berada di udara dan memperparah kondisi polusi udara.
“Hujan secara alami akan membantu larutkan polutan atau mengurangi tingkat polusi udara,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Sandi Setyawan