Bengkalis, Aktual.com – Kepolisian Resor Bengkalis, Riau, telah membebaskan Robert Herry Son (22), yang merupakan tersangka dalam kasus pelecehan terhadap bendera Merah Putih dengan cara mengalungkannya di leher anjing di sebuah pabrik kelapa sawit PT SAS. Peristiwa ini terjadi di Desa Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Bengkalis, dan diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif.

“Kami memutuskan untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif karena pelapor telah mencabut laporannya dan kedua belah pihak telah mencapai perdamaian serta menandatangani surat perjanjian,” ungkap Kepala Polres Bengkalis, Ajun Komisaris Besar Polisi Setyo Bimo Anggoro, setelah menghadiri Apel Kebangsaan di halaman Mapolres Bengkalis pada hari Rabu.

Kepala Polres menjelaskan bahwa langkah ini bukanlah hasil dari tekanan masyarakat, organisasi masyarakat, atau elemen lainnya, melainkan didasarkan pada pelaksanaan fungsi penyelidikan.

Mengenai kontroversi terkait barang bukti, yaitu bendera Merah Putih berukuran 13×19 sentimeter, Kepala Polres menjelaskan bahwa hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Pasal 4 undang-undang tersebut mengatur standar bendera termasuk ukuran, bentuk, dan warnanya.

Menurut Kepala Polres, ukuran bendera yang ditemukan merupakan barang bukti yang jelas merupakan bendera Merah Putih.

“Jika digunakan sebagai aksesoris atau pita, perlakuannya tentu berbeda, seperti yang kita kenakan di kepala saat ini, karena ukurannya berbeda sesuai ketentuan undang-undang,” jelasnya.

Dalam proses penyelidikan ini, Setyo menambahkan bahwa pihaknya telah meminta pendapat dari tiga ahli, yaitu ahli pidana, ahli tata negara, dan budayawan.

“Berdasarkan pertimbangan dari ketiga ahli tersebut, tindakan yang dilakukan oleh Robert Herry Son dengan mengalungkan bendera Merah Putih pada leher anjing dianggap sebagai penghinaan dan didukung oleh bukti-bukti lain. Dengan fakta-fakta ini dan bukti yang mencukupi, Robert ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Pasal 66 UU RI Nomor 24 Tahun 2009,” ungkapnya.

Meskipun dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, Kepala Polres menekankan bahwa pendekatan persuasif tetap menjadi prioritas. Penegakan hukum di sini dianggap sebagai langkah terakhir.

Kepala Polres juga telah berkomunikasi dengan tokoh masyarakat, LSM, dan organisasi masyarakat lainnya untuk menyampaikan bahwa tersangka telah mengekspresikan penyesalannya dan mengakui kesalahannya, serta meminta maaf kepada masyarakat Indonesia.

“Sebagai warga negara yang baik dan hidup di tanah Melayu ini, kami menerima pendekatan persuasif dan permintaan maaf dari tersangka. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, patriotisme, dan untuk tidak merusak rasa cinta terhadap NKRI,” tegasnya.

Dengan peristiwa ini, lanjut Kepala Polres, diharapkan masyarakat dapat mengambil hikmah dan menghapus segala isu terkait SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Sandi Setyawan