Banda Aceh, Aktual.com – Mahkamah Syar’iyah (MS) Jantho Aceh Besar mengumumkan bahwa tanah bekas dampak tsunami dan pembangunan jalan tol Aceh masih menjadi sumber perselisihan hukum di kalangan ahli waris di pengadilan.
Muhammad Redha Valevi, Ketua MS Jantho Aceh Besar, mengatakan, “Masalah tanah bekas dampak tsunami dan pembangunan jalan tol di Aceh terus menimbulkan berbagai sengketa waris di pengadilan.” Pernyataan ini diutarakan di Aceh Besar pada hari Senin (21/8).
Permasalahan ini menjadi fokus dalam diskusi program Mahkamah Agung mengenai hukum waris yang membahas tentang eksistensi dan perkembangan hukum waris Islam serta teknik penanganan perkara waris, yang diadakan di Aceh Besar.
Valevi juga menyampaikan bahwa Aceh pernah dilanda tsunami pada tahun 2004, yang menyebabkan kehilangan beberapa tingkat generasi waris. Hal ini telah memicu perdebatan yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. “Faktanya, setiap tahun banyak perkara waris yang diajukan ke Mahkamah Syari’ah Jantho,” tambahnya.
Lebih lanjut, Valevi menekankan bahwa pembangunan jalan tol di Aceh juga telah memicu sengketa-sengketa waris di masyarakat.
Sejak tahun 2020 hingga 2023, MS Jantho telah menangani 49 kasus sengketa kewarisan. Rinciannya adalah 12 perkara pada tahun 2020, 12 perkara pada tahun 2021, 18 kasus pada tahun 2022, dan 7 kasus hingga bulan Agustus 2023.
Valevi menambahkan, “Banyak kasus yang kami temui melibatkan generasi yang telah tiada akibat tsunami dan konflik di Aceh. Oleh karena itu, diperlukan usaha lebih lanjut dari hakim dalam menggali bukti-bukti untuk menyelesaikan perkara tersebut.”
Sementara itu, Rafi’uddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, mengungkapkan bahwa penyelesaian perkara waris melibatkan berbagai masalah, seperti masalah ahli waris, harta waris, dan pembagian waris.
Dalam hal masalah ahli waris, dia menyoroti bahwa seringkali pihak pengajukan perkara tidak melibatkan seluruh informasi mengenai ahli waris, yang mengakibatkan ketidakseimbangan. Hal ini menyebabkan penolakan perkara, meskipun perkara tersebut mungkin dapat diajukan kembali.
Rafi’uddin menekankan, “Karena itu, kadang-kadang kami dianggap tidak adil oleh pihak luar, padahal kami tidak memiliki cukup data atau bukti yang diperlukan.”
Pada kesempatan tersebut, Edi Riadi, Hakim Agung, menyatakan bahwa hukum waris tidak hanya berkaitan dengan aspek fikih dan perundang-undangan. Namun, hakim juga perlu mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat.
“UU Kekuasaan Kehakiman menuntut bahwa hakim tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum yang berlaku, tetapi juga hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Edi.
Menurutnya, hakim harus tanggap dan siap menghadapi perkembangan hukum serta pandangan keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini karena tugas utama seorang hakim adalah menjunjung tinggi keadilan.
Edi Riadi menyimpulkan, “Jika terdapat hukum yang dianggap tidak sesuai oleh masyarakat, kita diberi kewenangan oleh Allah untuk tidak mengaplikasikannya.”
Artikel ini ditulis oleh:
Warto'i
















