Jakarta, Aktual.com – Akibat tata kelola yang buruk, sektor mineral kritis (critical mineral) di Indonesia terus membawa kehancuran lingkungan, pelanggaran HAM dan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Dalam pertemuan bilateral di Ruang Oval, Washington, AS Senin (13/11) ini, Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mempunyai kesempatan untuk menghentikan segala kehancuran ini, mengedepankan kepentingan lingkungan dan masyarakat di atas pertimbangan profit semata.
Menurut keterangan resmi Gedung Putih, pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden dengan Presiden Indonesia Joko Widodo ini bertujuan antara lain untuk mempererat kerjasama di sektor transisi energi bersih, kesejahteraan ekonomi, meningkatkan stabilitas dan perdamaian, serta mempererat persahabatan antar kedua negara.
Terkait topik energi, dalam pembicaraan mengenai sektor mineral kritis, kedua negara tampaknya ingin mencapai kesepakatan di bidang mineral kritis, terutama nikel. Saat ini, hubungan bisnis-investasi Indonesia Amerika Serikat di sektor mineral kritis masih terganjal Undang-Undang Inflation Reduction Rate (IRA) Amerika Serikat.
Padahal kedua negara sama-sama punya kepentingan besar di sana. Perbedaannya kemungkinan besar adalah solusi yang ditawarkan. Sodoran solusi yang ditawarkan Indonesia adalah Limited Free Trade Agreement (FTA), sementara Amerika Serikat menekankan pentingnya Indonesia untuk memenuhi persyaratan environmental, social, governance (ESG)
dan menerapkan konsep energi hijau di sektor ini.
Bagi Amerika Serikat, kesepakatan penting diraih. Salah satunya adalah mengimbangi dominasi China, mengingat Indonesia memiliki potensi cadangan mineral kritis terbesar di dunia untuk komponen bahan baku baterai hingga kendaraan listrik di dunia. Utamanya nikel, dimana sepertiga dari cadangan dunia ada di negeri ini.
“Tetapi kepentingan lingkungan dan masyarakat harus ditempatkan di atas segalanya. Aliansi Sulawesi Terbarukan baru-baru ini meluncurkan laporan, mengungkapkan kehancuran yang disebabkan oleh booming PLTU Captive di kawasan Timur Indonesia. Ini harus segera dihentikan” kata Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan yang juga koordinator Aliansi Sulawesi Terbarukan, Muhammad Al Amin.
Dalam laporan berjudul “Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghasilan Masyarakat di Pulau Sulawesi”, terungkap bahwa mayoritas kawasan industri pengolahan nikel di Indonesia, khususnya di Pulau Sulawesi digerakkan oleh pembangkit listrik batubara dengan total kapasitas pembangkit sebesar 5,6 GW atau 52% dari total kapasitas pembangkit PLTU Captive di Indonesia.
Kini, PLTU Captive tersebut menimbulkan banyak sekali masalah, mulai dari pelanggaran HAM, dampak lingkungan dan sosial, serta dampak kesehatan bagi masyarakat lokal. Hal tersebut terjadi akibat aktivitas PLTU Captive yang tak terkontrol dan abai terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, aktivitas PLTU Captive mengakibatkan masyarakat lokal kehilangan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat serta kehilangan mata pencaharian di wilayah perairan karena tercemar oleh limbah batubara.
Selain itu, bahkan setelah komitmen presiden jokowi untuk dekarbonisasi, hingga kini masih terdapat 13 unit PLTU yang sedang tahap konstruksi dengan total kapasitas 4,3 GW. Hal ini menandai era industrialisasi mineral kritis di Indonesia masih sangat kotor, massif karbon, tidak ramah terhadap iklim, lingkungan, HAM, dan abai terhadap keberlanjutan hidup masyarakat.
Menurut Direktur Kampanye Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, carut marutnya tata kelola industri mineral kritis ini, berpotensi tidak hanya menghambat dan mencoreng transisi energi yang berkeadilan di Indonesia dan dunia, namun juga menjadi kutukan sumber daya alam yang kesekian kalinya bagi Indonesia.
“Puncak-puncak gunung es dari permasalahan tata kelola nikel seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat teras seperti Wamenkumham (Wakil Menteri Hukum dan HAM) hingga mantan Dirjen Minerba (Direktur Jenderal Mineral dan Batubara), export ilegal jutaan ton nikel Indonesia ke China, kontroversi tentang nilai tambah hilirisasi yang lari ke luar negeri dan berbagai permasalahan lainnya, harusnya sudah cukup bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan serius. Negara-negara importir atau calon importir seperti China dan Amerika seharusnya ikut mendorong perbaikan dan bukan malah menikmati keuntungan tak adil dari situasi yang buruk tersebut,” tegas Ahmad Ashov.
Terkait penurunan emisi, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), penurunan emisi dari pembangkit captive harus dilakukan sebelum 2030 sehingga Indonesia dapat mencapai target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, sesuai target JETP.
“Pembangkit captive berupa PLTU batubara yang sebagian besar untuk melistriki kawasan industri dan pengolahan mineral menyebabkan intensitas emisi yang tinggi untuk mineral yang diproduksi. Intensitas emisi dari produk nikel Indonesia diperkirakan mencapai 58,6 ton CO2 per ton produk atau 20 – 25 persen lebih tinggi dari rata-rata internasional, jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
“Paling tidak ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan Indonesia. Pertama, meningkatkan tata kelola sektor mineral kritis secara keseluruhan. Hal ini bisa meningkatkan standar ESG perusahaan-perusahaan di sektor mineral kritis di Indonesia. Kedua, Indonesia harus serius melakukan dekarbonisasi PLTU Captive. Bagi Amerika Serikat, ia harus memastikan dan mendukung dekarbonisasi di sektor mineral kritis di Indonesia, dan peningkatan tata kelola
industri ini secara keseluruhan,” pungkas Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudisthira.
Artikel ini ditulis oleh:
Yunita Wisikaningsih