Anak-anak Gaza meratapi nasib mereka akibat kebiadapan Israel. Foto: Twitter

Jakarta, aktual.com – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat kemungkinan adanya peningkatan jumlah kematian akibat penyakit di Gaza melebihi jumlah korban akibat serangan bom, terutama jika sistem kesehatan tidak segera mendapatkan perbaikan. Pada Selasa (28/11), juru bicara WHO memperingatkan tentang risiko lonjakan kasus penyakit menular dan diare pada anak-anak.

Otoritas kesehatan di Gaza melaporkan bahwa lebih dari 15.000 orang telah dikonfirmasi meninggal dalam serangan bombardir Israel, dengan sekitar 40 persen dari korban tersebut adalah anak-anak. Selain itu, masih banyak korban jiwa yang belum terhitung karena mereka terkubur di bawah puing-puing reruntuhan.

“Pada akhirnya kita akan melihat lebih banyak orang meninggal karena penyakit daripada yang kita lihat akibat pemboman jika kita tidak mampu mengembalikan (menyatukan) sistem kesehatan ini,” kata Margaret Harris dari WHO pada briefing PBB di Jenewa.

Dia menyatakan keprihatinan terkait peningkatan risiko penyakit menular, terutama diare pada bayi dan anak-anak, karena kasus diare pada anak yang berusia lima tahun ke atas meningkat lebih dari 100 kali lipat dari tingkat normal pada awal November.

“Semua orang di mana pun kini mempunyai kebutuhan kesehatan yang sangat mendesak karena mereka kelaparan karena kekurangan air bersih dan (mereka) berdesakan,” katanya.

Dengan mengacu pada aturan jeda pertempuran, Israel memberikan persetujuan untuk meningkatkan aliran bantuan ke Gaza, termasuk makanan, air, dan obat-obatan, meskipun lembaga bantuan menyatakan bahwa jumlah tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.

Melalui video conference, juru bicara Badan Anak-anak PBB di Gaza, James Elder, menyampaikan kepada wartawan bahwa rumah sakit di wilayah tersebut kini penuh dengan korban yang mengalami luka bakar, luka tembak, dan juga gastroenteritis akibat mengonsumsi air yang tercemar.

“Saya bertemu banyak orang tua. Mereka tahu persis apa yang dibutuhkan anak-anak mereka. Mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan ini melumpuhkan mereka,” katanya.

Dia memberikan kesaksian bahwa dia melihat seorang anak yang kehilangan sebagian kakinya terbaring di lantai rumah sakit selama beberapa jam tanpa mendapatkan perawatan yang memadai karena kurangnya tenaga medis.

“Anak-anak lain yang terluka terbaring di kasur darurat di tempat parkir dan taman di luar,” katanya.

“Di mana pun dokter harus membuat keputusan yang mengerikan, Anda tahu, siapa yang mereka prioritaskan,” lanjutnya.

Merujuk pada laporan PBB tentang keadaan hidup para pengungsi di Gaza utara, Harris menyatakan bahwa tidak ada ketersediaan obat-obatan, kegiatan vaksinasi tidak terlaksana, air bersih tidak dapat diakses, dan kekurangan pangan terjadi.

Ia menggambarkan keruntuhan Rumah Sakit Al Shifa di Gaza utara sebagai suatu tragedi dan mengungkapkan keprihatinannya terkait penahanan beberapa staf medis oleh pasukan Israel selama proses evakuasi yang diorganisir oleh WHO.

“Hampir tiga perempat rumah sakit, atau 26 dari 36 rumah sakit, telah ditutup seluruhnya di Gaza,” tambahnya, imbas pemboman atau kekurangan bahan bakar.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain