Surabaya, Aktual.com – Seniman Butet Kertaredjasa mengungkapkan pengalamannya menghadapi intimidasi selama pertunjukan teater di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Menurut Butet, peristiwa tersebut mencerminkan pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam seni pertunjukan.

“Dua hari yang lalu saya mencicipi suatu peristiwa, karena banyak yang tanya kronologi apa yang terjadi dalam intimidasi pertunjukan kesenian saya, di Taman Ismail Marzuki Jakarta tanggal 1 dan 2 November lalu,” kata Butet di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Rabu (6/12).

Butet menyoroti larangan dari pihak kepolisian terhadap materi yang bersinggungan dengan politik dalam pertunjukannya, yang menurutnya mencerminkan pengaturan materi seni oleh pihak berwenang di luar dirinya.

“Saya kehilangan kemerdekaan mengartikulasikan pikiran, saya dihambat kebebasan berekspresi, padahal UUD, seperti dikatakan dirjen kebudayaan, amanah kongres kebudayaan jelas menyebutkan kebebasan berekspresi hak mendasar, hak mutlak rakyat Indonesia,” ujarnya.

Butet menekankan bahwa izin dari kepolisian seharusnya hanya diperlukan untuk seni yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Ia menyayangkan adanya ketentuan tambahan yang menghambat kebebasan seniman untuk menyampaikan materi seni di tempat-tempat seni seperti Taman Ismail Marzuki.

“Tugas polisi adalah mengantisipasi ancaman ketertiban umum, tapi dalam pertunjukan kami, seminggu sebelumnya saya harus menandatangani surat yang salah satu itemnya berbunyi ‘Saya harus mematuhi, tidak bicara politik, acara saya tidak boleh untuk kampanye, tidak boleh ada tanda gambar, tidak boleh urusan pemilu’,” ungkapnya.

Meskipun Butet hanya menyampaikan cerita biasa, ia menyoroti bahwa polisi kali ini menambahkan redaksional yang berisi larangan membicarakan politik, sebuah tindakan yang dianggapnya sebagai intimidasi.

“Itu menurut saya intimidasi. Intimidasi tidak harus pertemuan langsung, tidak harus ada pernyataan verbal dari polisi, polisi datang marah-marah, bukan itu,” tandasnya.

Butet berharap masyarakat Indonesia yang cerdas dapat menilai sendiri situasi ini, dan ia menekankan bahwa sebagai seniman, tugasnya hanyalah menceritakan fakta yang dialaminya tanpa menuduh polisi sebagai alat negara yang ikut campur dalam kehidupan publik.

“Cuman menceritakan fakta, saya yakin masyarakat Indonesia ini, masyarakat yang cerdas, bisa menilai dengan sendirinya,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Firgi Erliansyah
Jalil