Jakarta, aktual.com – Sejumlah besar orang etnis Rohingya tiba di Aceh, Indonesia, menggunakan kapal-kapal laut. Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana mereka tidak dapat secara otomatis dicap sebagai pengungsi.

“Mereka sejatinya adalah pendatang gelap,” kata Hikmahanto Juwana kepada wartawan, Senin (11/12).

Menurut Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), istilah “pengungsi” adalah suatu istilah hukum yang memiliki definisi khusus. Apabila merujuk pada Pasal 1 huruf A.2 dari Konvensi Pengungsi 1951—meskipun Indonesia tidak secara resmi meratifikasinya namun diadopsi melalui Peraturan Presiden 125 Tahun 2016—maka pengungsi didefinisikan sebagai:

Orang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.

“Namun demikian orang-orang yang memasuki wilayah negara lain tidak serta merta bisa mendapatkan status atau dapat dikatakan sebagai pengungsi. Mereka harus melalui verifikasi oleh UNHCR atau oleh otoritas keimigrasian dari wilayah negara yang dimasuki,” ujar Hikmahanto.

Dia menyatakan bahwa tujuan dari proses verifikasi ini adalah untuk memastikan bahwa individu yang datang tersebut memenuhi kriteria yang dijelaskan dalam Pasal 1 Konvensi Pengungsi. Selain itu, verifikasi juga bertujuan untuk memastikan bahwa mereka bukan sekadar orang yang mencari kehidupan yang lebih baik dan tidak memiliki catatan kriminal di negara asal mereka.

“Menjadi pertanyaan apakah para etnis Rohingya telah melalui verifikasii oleh UNHCR atau Ditjen Imigrasi sehingga mereka bisa dianggap sebagai pengungsi? Bila belum maka etnis Rohingya yang berdatangan ke Indonesia tidak dapat dikatagorikan dan disebut sebagai Pengungsi dan tidak bisa mendapatkan hak-haknya berdasarkan Konvensi Pengungsi atau Perpres 125,” ucap Hikmahanto.

Hikmahanto menyatakan bahwa etnis Rohingya mungkin dapat digolongkan sebagai pencari suaka. Meskipun demikian, status ini tetap harus diverifikasi oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.

“Namun demikian ketentuan tentang pencari suaka tidak diatur baik di Konvensi Pengungsi 1951 maupun Perpres 125,” ujar Hikmahanto.

Jika Ditjen Imigrasi tidak melakukan verifikasi, Hikmahanto menjelaskan bahwa tidak akan ada kejelasan mengenai jumlah pasti orang etnis Rohingya yang kini berada di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Keimigrasian, terutama Pasal 8 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1, jika tidak ada verifikasi, maka etnis Rohingya kemungkinan akan dianggap sebagai pendatang tanpa izin resmi.

“Hal ini mengingat berdasarkan pasal-pasal tersebut orang yang masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki buku paspor sebagai dokumen perjalanan dan masuk melalui pemeriksaan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Sebagai pendatang gelap maka pemerintah Indonesia mempunyai hak untuk mengusir atau mendeportasi etnis Rohingya,” kata Hikmahanto menegaskan lagi.

Tambahan lagi, Pemerintah tidak terikat pada prinsip non-refoulement untuk orang etnis Rohingya, karena mereka tidak memiliki status resmi sebagai pengungsi, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951.

“Dalam Konvensi ditentukan hanya mereka yang berstatus pengungsi yang tidak diperbolehkan untuk dikembalikan ke negara asalnya,” ucap Hikmahanto.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain