Jakarta, Aktual.com – Menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), faktor utama yang menyebabkan gelombang pengungsi Rohingya yang melanda Aceh belakangan ini bukan terletak pada para pengungsi itu sendiri, tetapi berasal dari negara asal mereka, yaitu Myanmar.
Jumlah pengungsi Rohingya di Aceh mencapai 1.684 orang, dengan tambahan 135 pengungsi yang baru tiba. Terdapat laporan bahwa penduduk setempat menolak kedatangan mereka ke daratan dengan alasan perilaku pengungsi yang dianggap mengganggu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Muhamad Iqbal menyatakan bahwa akar permasalahan Rohingya berasal dari konflik di Myanmar. Oleh karena itu, penting untuk segera menyelesaikan konflik tersebut.
“Indonesia menegaskan kembali posisi bahwa yang harus diselesaikan adalah akar masalahnya dan akar masalahnya adalah konflik di Myanmar yang hingga saat ini belum selesai,” ujar Iqbal di Kantor Kemlu RI, Jakarta, Selasa (12/12).
Cara untuk membantu menyelesaikan konflik di negara tetangga Indonesia di utara seberang lautan adalah dengan menggunakan segala upaya yang dimiliki.
“Indonesia akan melakukan semua kemampuannya untuk membantu agar konflik di Myanmar dapat segera diselesaikan dan demokrasi segera dipulihkan,” ujar Iqbal.
“Nanti akan ada mekanisme tersendiri untuk menyelesaikannya, dan Indonesia juga berkontribusi berpartisipasi aktif dalam mekanisme mekanisme yang sudah ada dalam kerangka ASEAN maupun kerangka yang lebih luas dan upaya-upaya itu akan terus dilakukan oleh Indonesia,” imbuhnya.
Konflik signifikan di Myanmar dapat dikaitkan dengan periode sekitar Mei-Juni 2012, yang melibatkan ketegangan antara kelompok etnis Rakhine yang menganut agama Buddha dan kelompok etnis Rohingya yang menganut agama Islam. Saat itu, Presiden Myanmar, Thein Sein, memutuskan untuk melakukan deportasi terhadap etnis Rohingya dan mengumpulkannya di tempat penampungan.
Dampak dari peristiwa tersebut mencakup pengusiran sekitar 140 ribu individu, 800 orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, kerusakan pada 3 ribu bangunan, dan hampir 60 ribu orang yang kehilangan tempat tinggal. Sebagai akibatnya, komunitas etnis Rohingya terpaksa meninggalkan Myanmar dan mencari perlindungan di berbagai negara terdekat seperti Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan sebagainya.
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, yang diadakan di Kantor Eropa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa pada 2 hingga 25 Juli 1951, belum diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, Protokol Pengungsi 1967 juga tidak mendapatkan pengesahan. Oleh karena itu, Indonesia bukanlah negara yang secara resmi mengakui konvensi tersebut, dan juga bukan negara tujuan bagi pengungsi, melainkan berperan sebagai negara transit untuk para pengungsi.
Negara yang menjadi tujuan pengungsi, juga dikenal sebagai negara ketiga atau negara penerima, adalah negara-negara yang telah melegitimasi Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967. Beberapa di antaranya termasuk Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
Beratus-ratus ribu penduduk Rohingya memutuskan meninggalkan wilayah Rakhine untuk mencari perlindungan. Proses perpindahan mereka melibatkan tantangan yang berat, termasuk melewati medan sulit seperti mendaki pegunungan dan menyeberangi sungai.
Iqbal menyatakan bahwa Indonesia tidak terikat oleh Konvensi tentang Pengungsi. Hingga saat ini, upaya penanganan pengungsi oleh Indonesia didasarkan sepenuhnya pada prinsip-prinsip kemanusiaan.
Indonesia akan terus bekerja sama dengan berbagai organisasi internasional, terutama UNHCR (Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) dan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi).
“Dan koordinasi itu terus dilakukan baik di level PBB maupun di lapangan,” ucap Iqbal.
Sama-sama signifikan, yang pertama, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia akan memberikan perhatian utama terhadap dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang mungkin terlibat dalam masalah gelombang pengungsi Rohingya ke Aceh. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyoroti permasalahan ini sebagai suatu hal yang penting.
“Fokus kita yaitu mengenai adanya tindak pidana yang menyertai pergerakan orang-orang ini dari Bangladesh ke Aceh, dan yang kedua adalah mengenai tanggung jawab dari negara-negara pihak pada konvensi pengungsi,” ujar Lalu.
Artikel ini ditulis oleh:
Yunita Wisikaningsih