Sejumlah warga Prabumulih, Sumatera Selatan didampingi Ketua Forum korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiardjo, meminta keadilan karena tanah SHM terbitan tahun 90 milik mereka saat ini sedang digugat untuk ketiga kalinya di kantor Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Cempaka Putih, Jakarta, Senin (13/6/2022).
Oleh : SK Budiardjo (Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia)

Tulisan ini saya buat di Rutan Salemba, tempat dimana saya harus menjalani putusan atas suatu kejahatan yang tidak pernah saya lakukan. Bahkan, bukan hanya saya, istri saya tercinta Nurlela juga harus mendalami hal serupa. Menjadi korban kezaliman Mafia Tanah yang didukung penuh oleh penguasa. Istri saya, saat ini menjalani tahanan di Rutan Pondok Bambu.

Jakarta, Aktual.com – Sudah lama, saya ingin mengabarkan kepada segenap rakyat tentang bagaimana Mafia Tanah bekerja merampas tanah rakyat. Kasus yang saya alami hanyalah prototipe, ada ribuan bahkan ratusan ribu korban mafia tanah yang mengalami nasib serupa seperti yang saya alami.

Pertama-tama, saya menitip pesan kepada teman-teman di FKMTI, agar melanjutkan perjuangan dan tetap semangat. Memang benar, selama saya di penjara ada sejumlah kegiatan yang berkurang. Namun, secara umum aksi-aksi dan renstra advokasi pada korban mafia tanah harus terus digalakkan.

Saya juga meminta doa dan dukungan kepada seluruh elemen anak bangsa, segenap rakyat yang mencintai negeri ini. Kasus ini bukan hanya kasus seorang SK Budiardjo. Melainkan, kasus yang merepresentasikan betapa zalimnya mafia tanah dan oknum penguasa yang menjadi bekingnya.

Saya telah membuat pesan secara khusus kepada Aguan, bahwa saya dan seluruh anak cucu saya tidak akan melupakan peristiwa yang saya dan istri saya alami hari ini. Setiap karma, harus dibalaskan di dunia. Dan saya, telah berjanji tidak akan diam atas semua kezaliman yang saya alami ini.

Sebelum masuk kepada peran penguasa, aparat penegak hukum, para pejabat BPN yang punya andil dalam rantai mafia tanah di Indonesia, perlu saya ingatkan ulang bagaimana modus operandi mafia tanah bekerja dalam kasus yang saya alami.

Melalui persidangan yang lalu, saya telah ungkap bagaimana modus operandi kerja-kerja mafia tanah, khususnya yang terkait dengan kasus yang saya alami. Modus operandi mafia tanah merampas tanah adalah sebagai berikut:

Pertama, mafia tanah utama membentuk sebuah perusahaan yang sebenarnya terafiliasi, hanya untuk dijadikan sarana alas kepemilikan hak, agar seolah-olah kepemilikan atas tanah tersebut sah, legal dan konstitusional.

Mafia tanah utama dalam kasus ini adalah PT SSA yang merupakan bagian dari Agung Sedayu Group. Perusahaan terafiliasi itu adalah PT Bangun Marga Jaya (PT BMJ).

Kedua, selanjutnya, perusahaan terafiliasi berkomplot dengan oknum BPN untuk mendapatkan SHGB. Dalam kasus ini SHGB 1634 yang terbukti tidak jelas alas hak kepemilikan awalnya, dengan data dan luas tanah yang berubah ubah.

Ketiga, melakukan peralihan hak dari perusahaan terafiliasi kepada mafia tanah. Yakni dalam kasus ini PT BMJ mengalihkan SHGB 1634 Kepada PT SSA dengan dalih jual beli.

Setelah itu, peran PT BMJ hilang. Dan sejak awal PT BMJ memang didesain hanya untuk melegitimasi asal usul tanah yang bermasalah.

Keempat, mafia mengklaim sebagai pembeli yang sah dengan modal akta peralihan hak dari perusahaan terafiliasi yang sudah bubar. Dalam hal ini, PT SSA berdalih telah membeli tanah dari PT BMJ.

Kelima, penguasaan fisik tanah dengan memanfaatkan oknum aparat penegak hukum. Dalam kasus ini , seperti yang dilakukan PT SSA terhadap tanah saya.

Keenam, membangun perumahan dan menjualnya kepada masyarakat dengan keuntungan berkali lipat. Inilah yang terjadi pada tanah saya, yang diatasnya dibangun perumahan GOLF LAKE RESIDENCE.

Ketujuh, MENGKRIMINALISASI pemilik tanah yang benar, jika tidak mau diajak negosiasi. Dalam kasus ini, saya pernah ditawari negosiasi oleh ASG melalui orang tertentu dengan sejumlah kompensasi, namun saya hanya ingin tanah saya kembali. Karena saya menolak nego, maka kasus saya diproses.

Dalam kasus lain, pemilik tanah yang benar biasanya didatangi untuk dibeli tanahnya dengan harga yang murah. Setelah gagal nego, barulah ujungnya juga dikriminalisasi.

Umumnya kriminalisasi dilakukan dengan pendekatan pasal menggunakan keterangan palsu berdasarkan ketentuan Pasal 266 ayat (2) KUHP dan membuat surat palsu atau menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Nah, sebenarnya kata kunci dari masalah mafia tanah adalah ada pada DATA BUKTI KEPEMILIKAN AWAL TANAH. Data ini, di BPN tersimpan di Warkah. Dalam Warkah itulah, nasab atau asal-usul tanah tersimpan dengan rapih, dan tak mungkin tertukar atau bergeser letak tanahnya.

Dari warkah BPN inilah, akan diketahui siapa pemilik tanah asli dan siapa perampas. Sayangnya, oknum BPN terlibat dalam lingkaran mafia tanah, selaku pihak yang menerbitkan sertifikat bodong untuk mafia yang merampas tanah. Akhirnya, pemilik tanah yang sah kehilangan hak, karena BPN secara formil berpihak kepada mafia tanah.

Dalam kasus saya ini, terbukti asal usul tanah PT SSA tidak jelas. Ada sejumlah kekacauan dalam SHGB 1633 milik PT SSA yang dibeli dari PT BMJ, dari luas tanah yang tidak konsisten, alas dasar hak tanah yang berubah-ubah, AJB dan Girik asal yang tidak tercatat, hingga perbedaan keterangan dari BPN tentang riwayat tanah tersebut.

Meski sudah diungkap oleh pengacara saya secara detail di pengadilan, namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat tutup mata. Hampir sama dengan polisi dan jaksa ditingkat penyidikan, hakim hanya mengacu pada berkas BAP, sementara proses BAP ada di ruang gelap.

BPN malah menjadi pelindung mafia tanah, dengan tidak membuka Warkah berdalih dokumen yang menjadi rahasia negara. Hanya bisa dibuka atas perintah penyidikan atau perintah pengadilan.

Saat penyidikan, ruang pemeriksaan Warkah menjadi gelap. Tak ada transparansi, karena yang memeriksa hanya penyidik dan petugas BPN. Padahal, ada kepentingan rakyat selalu pemilik tanah tidak dilibatkan. Sehingga, hasil penyidikan sangat subjektif. Apalagi, jika kasus yang disidik adalah kriminalisasi, kasus yang dipesan mafia tanah untuk membungkam rakyat selaku pemilik tanah yang sah.

Andaikan, BPN terbuka, polisi juga fair, jaksa tidak masuk angin, semua data Warkah SHGB 1633 milik PT SSA dibuka di hadapan publik, kemudian diadu dengan data Girik C 1906, C 5047 dan Girik C 193 yang saya miliki, saya berkeyakinan akan terbongkar semua aib mafia tanah dalam merampas tanah rakyat. Saya yakin, bukan hanya tanah saya yang serobot PT SSA melalui SHGB 1633, melainkan banyak korban selaku pemilik tanah asal yang sah, yang dirampas dan diklaim menjadi milik PT SSA.

Karena itu, masalah mafia tanah ini telah menjadi masalah yang sistemik, terstruktur dan massif. Sistemik, karena direncanakan secara matang dan melibatkan berbagai lembaga dan organ negara. Struktural, karena melibatkan oknum pejabat struktural diberbagai institusi dan level, dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan. Masif, karena korbannya telah meliputi banyak sekali rakyat dengan sebaran lokasi di seluruh wilayah Indonesia.

Masalah ini telah saya laporkan kepada Menkopolhukam Mahfud MD, kepada Mendagri Tito Karnavian, Kepada Menteri ATR kepala BPN, bahkan kepada Presiden Jokowi. Alih-alih saya dibela dan mendapatkan perlindungan, hari ini justru saya yang dipenjara, bukan mafianya yang dipenjara.

Jadi jelas, pemerintah memiliki andil dan bertanggungjawab penuh atas maraknya kasus mafia tanah di NKRI. Jangan sampai hal ini tidak menjadi perhatian, dan hanya akan menjadi kesalahan berulang di masa depan dan merenggut lebih banyak lagi korban tanah rakyat.

Saat pengacara saya mengunjungi saya di Rutan Salemba, saya sengaja menitipkan tulisan ini. Agar tulisan ini bisa disampaikan kepada masyarakat, dan dapat menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat.