Jakarta, Aktual.com – Kerusuhan di Papua Nugini dimulai dari unjuk rasa pasukan keamanan yang memprotes pemotongan gaji tanpa penjelasan.

Kerusuhan pecah di Port Moresby pada Rabu (10/1) malam setelah tentara, polisi, dan sipir penjara melakukan protes.

Sebanyak 15 orang tewas di dua kota terbesar pada Kamis (11/1), seperti yang dikonfirmasi oleh Komisaris Polisi Papua Nugini David Manning.

Perdana Menteri Papua Nugini James Marape meminta maaf kepada warga dan menyebut ledakan kekerasan tersebut sebagai “pelanggaran hukum” yang tidak akan “ditoleransi.”

“Melanggar hukum tidak akan mencapai hasil yang pasti,” kata Marape.

Meskipun situasi mereda pada Kamis pagi, Port Moresby masih mencekam di beberapa bagian.

Rekaman AFPTV menunjukkan toko-toko dirusak, barang-barang dicuri, dan gedung-gedung serta mobil dibakar.

Pemerintah China mengajukan keluhan terkait serangan terhadap bisnis warga China di tengah kerusuhan.

Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional Powes Parkop menyatakan bahwa kerusuhan ini mencerminkan tingkat perselisihan yang belum pernah terjadi di Port Moresby.

Meskipun pemerintah berjanji untuk mengatasi pemotongan gaji, itu tidak cukup untuk meredakan ketidakpuasan warga sipil.

Papua Nugini, negara dengan tingkat kemiskinan tinggi dan tingkat kejahatan yang signifikan, menjadi sorotan dalam ledakan kekerasan ini.

Terletak dekat dengan Australia, negara ini, meskipun kaya sumber daya alam, memiliki hampir 40 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menekankan pentingnya ketenangan di tengah kondisi sulit ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Firgi Erliansyah