Oleh: Syaefullah Hamid, SH, MH
(Advokat, Founder & Managing Partner SHP Law Firm)
Jakarta, Aktual.com – Setahun terakhir ini kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak kasus hukum yang terjadi di Indonesia yang justru melibatkan Aparat Penegak Hukum itu sendiri. Terakhir, disampaikan oleh mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, bahwa hampir 100 pegawai KPK terlibat kasus pungli Rutan. Kejadian ini membuktikan benar adanya teori bahwa: “ikan busuk bermula dari kepala.” Sebelumnya Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, menjadi Tersangka kasus pemerasan kepada Mantan Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo.
Sebagai seorang advokat, saya ikut memantau kasus hukum yang terjadi di negeri ini, utamanya bidang energi. Saya memantau perkara hukum yang dialami oleh mantan Direktur Pertamina periode 2009-2014, Ibu Karen Agustiawan. Perkara yang pertama didakwakan oleh Kejaksaan Agung (2018) kepada beliau, adalah terkait akuisisi ladang minyak di Blok Basker, Manta dan Gummy (BMG), Australia (2009). Meski dalam perkara Akuisisi Blok BMG, Hakim PN Tipikor telah memvonis Ibu Karen 8 tahun, namun digugurkan oleh Mahkamah Agung karena aksi Pertamina tersebut bukanlah kerugian negara melainkan kegiatan bisnis di hulu migas yang memang berisiko tinggi.
Kali ini, pentersangkaan Ibu Karen dalam perkara Pengadaan LNG Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat, yang menurut analisis saya KPK telah “salah alamat.” Perjanjian Jual beli (Sales Purchase Agreement/SPA) LNG yang ditandatangani pada era Ibu Karen tanggal 4 Desember 2013 dan 1 Juli 2014 (“SPA 2013 & 2014”) adalah tindakan Keperdataan murni dan bukan merupakan Tipikor. Dari berbagai sumber yang saya peroleh, SPA 2013 & 2014 ditandatangani atas dasar perintah jabatan dari pemerintahan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemudian, SPA 2013 & 2014 tersebut dibatalkan dan digantikan (superseded & replaced) dengan SPA 2015 oleh Direktur Utama pengganti Ibu Karen pada era Presiden Joko Widodo. Artinya, SPA 2013 & 2014 yang ditandatangani pada era Ibu Karen BELUM sempat dilaksanakan tapi sudah dibatalkan dan diganti oleh SPA 2015. Kemudian, Ibu Karen mengundurkan diri sebagai Direktur Utama Pertamina, sejak 1 Oktober 2014. Pertanyaaannya: “Bagaimana mungkin SPA yang belum pernah dilaksanakan bisa menghasilkan Tipikor?”
Sepengetahuan saya, pengadaan LNG dengan CCL ini telah dicatat di Security and Exchange Comission (SEC) dan sudah menjadi public domain. Oleh karenanya SPA 2013, 2014 dan 2015 dapat dibuka oleh umum di website SEC, Amerika Serikat. Dalam Pasal 24.2 SPA 2015 disebutkan bahwa SPA 2015 menggantikan semua perjanjian dan pernyataan sebelumnya, yakni SPA 2013 & 2014.
Sementara, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1381 KUH Perdata bahwa, salah satu alasan atau sebab berakhirnya suatu “Perjanjian” adalah karena adanya “Pembaharuan” (Novasi). Oleh karenanya, yang berlaku saat ini adalah SPA 2015, dan bukan SPA 2013 & 2014. Hal ini juga dikemukakan oleh Ahli Hukum Perdata, DR. Subani, SH, MH, baik dalam sidang Praperadilan.
Berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, dengan dihapusnya frasa “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, maka status kedua tindak pidana tersebut berubah dari delik Formil menjadi delik Materil. Artinya, kerugian negara harus bersifat PASTI dan NYATA. Tidak boleh hanya sekedar Dugaan, Indikasi dan/atau Perkiraan semata.
Karena kedua tindak pidana tersebut adalah delik materil dan kerugian keuangan negara itu adalah “unsur pokok” (bestandiel delict), maka harus ada keterkaitan langsung sebab-akibat atau kausalitas antara SPA yg ditandatangani pada era Ibu Karen dengan kerugian keuangan negara yang terjadi. Hal ini tidak mungkin terjadi karena SPA yang ditandatangani pada era Ibu Karen SUDAH dibatalkan sebelum dijalankan.
Bagaimana mungkin bisa mengaitkan kerugian keuangan negara yang terjadi dengan Ibu Karen? Terlebih Ibu Karen sudah mengundurkan diri dari jabatan Diretur Utama sejak 1 Oktober 2014. Seseorang yang tidak turut serta (menandatangani) dalam suatu perjanjian dan tidak ikut mengelola kontraknya, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban jika terjadi kerugian.
Kalau KPK konsisten dengan penegakan hukum yang obyektif, maka jika adapun Tipikor dalam pengadaan LNG – CCL, maka secara hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah justru Dwi Soetjipto dan Nicke Widyawati. Mengapa demikian?
Karena pengadaan LNG-CCL akan berlangsung selama 20 tahun, mulai 2019 hingga 2040, dan mengacu kepada SPA 2015. Tapi itupun semestinya tidak bisa dilakukan, kecuali bisa dibuktikan adanya delik suap dalam penandatanganan SPA 2015. Sedangkan pada era Nicke adalah saat beliau mulai menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina (2018), yang melakukan pengelolaan SPA 2015, termasuk saat pengiriman LNG yang pertama (first delivery, 2019) hingga sekarang.
Saya menganalogikan penetapan Ibu Karen sebagai tersangka dalam kasus LNG ini ibarat: “Si A yang meminjamkan motor ke si B yang memiliki SIM. Saat mengendarai motor, si B menabrak orang yang menyebrang di jalan hingga meninggal.”
Lantas si A dijadikan TERSANGKA oleh Polisi dengan tindak pidana kelalaian yang menyebabkan matinya seseorang (Pasal 359 KUHP), semata-mata karena si A telah “meminjamkan” motor ke si B.
Alasan seperti ini jelas tidak masuk akal, karena tidak ada hubungan langsung sebab-akibat antara matinya orang yang ditabrak dengan peminjaman motor oleh si A ke si B. Kematian itu disebabkan karena tabrakan yang dilakukan oleh si B sendiri. Pertanyaan kita selanjutnya adalah: “Mengapa si B tidak menginjak rem dan/atau menghindar terjadinya tabrakan tersebut?”
Menginjak rem dan/atau menghindar adalah tugas si B guna “Memitigasi Risiko” terjadinya tabrakan. Sementara, peminjaman motor oleh si A ke si B dalam Hukum Pidana hanya dikualifikasi sebagai syarat dan BUKAN sebagai sebab.
Atas dasar uraian di atas, jika para pimpinan KPK yang baru, Bapak Nawawi dkk, tetap ingin melanjutkan perkara yang sarat dengan kejanggalan ini ke tingkat Pengadilan Tipikor, lantas bagaimana dengan sikap para Hakim? Beranikah para wakil Tuhan di bumi pertiwi ini memutus “BEBAS” sesuai dengan fakta-fakta yang ada, tidak hanya sekedar mengikuti tuntutan yang berstempelkan berkas KPK? Mari kita tunggu dan pantau bersama-sama.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan