Jakarta, aktual.com – Proses pemakzulan Presiden Joko Widodo yang diajukan oleh sejumlah tokoh dalam Petisi 100 bukanlah tindakan yang sederhana. Diperlukan alasan yang kuat atau mendasar untuk menjalankan proses pemakzulan terhadap seorang presiden.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid, menyatakan bahwa proses pemakzulan atau impeachment terhadap seorang presiden harus memenuhi unsur-unsur yang bersifat terukur. Ini mencakup bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela. Selain itu, proses tersebut dapat dilakukan jika terbukti bahwa presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi dengan tingkat keterbuktiannya yang mutlak.
“Artinya, di luar article of impeachment sebagaimana rumusan konstitusi itu, maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk melakukan pemakzulan presiden,” ucap Fahri, melalui keterangannya, Selasa (16/1).
Fahri berpendapat bahwa tindakan yang diambil oleh Petisi 100 bersifat politis dan lebih bertujuan untuk menciptakan keraguan terhadap legitimasi Pemilu 2024. Dia menganggap hal tersebut sangat merusak dalam membangun demokrasi konstitusional saat ini, karena secara konstitusional, perdebatan terkait pemakzulan presiden tidak memiliki dasar hukum konstitusional dan cenderung bersifat khayalan.
Fahri menjelaskan bahwa lembaga Pemakzulan/Impeachment Presiden telah diatur dengan cara yang sangat terbatas dalam konstitusi (UUD NRI 1945), seperti yang diatur dalam pasal-pasal normatif Pasal 7A dan 7B. Pasal-pasal tersebut menetapkan bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Selanjutnya, “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Fahri menyampaikan bahwa untuk mengajukan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK), dibutuhkan dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna, yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari total anggota DPR. Setelah proses berpindah ke MK, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pandangan DPR tersebut dalam batas waktu maksimal 90 hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK.
“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR,” kata Fahri.
Langkah berikutnya melibatkan MPR yang harus mengadakan sidang untuk memutuskan usul dari DPR, tidak melebihi batas waktu 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR terkait usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR, yang dihadiri oleh setidaknya 3/4 dari total anggota dan mendapat persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Hal ini dilakukan setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
“Dengan demikian merupakan sesuatu yang sangat mustahil dari aspek kaidah hukum tata negara untuk dilakukan proses pemakzulan presiden dalam ketiadaan sangkaan yang spesifik secara hukum,” tutup Fahri Bachmid.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain