Jakarta, aktual.com – Israel saat ini mempertimbangkan untuk merebut kembali Koridor Philadelphia, yang merupakan wilayah ‘tanah tak bertuan’ di sepanjang perbatasan selatan Gaza dengan Mesir. Tindakan ini dapat menimbulkan risiko menyeret negara Arab lain ke dalam konflik.
Wilayah perbatasan selama 14 km tersebut diyakini telah lama digunakan oleh kelompok militan untuk menyelundupkan senjata, teknologi, uang, dan personel.
Israel meyakini bahwa aliran senjata, teknologi, dan uang yang terus masuk ke Gaza, mendukung kelompok Hamas, berasal dari Semenanjung Sinai dan diselundupkan melalui koridor tersebut. Sebagai upaya pencegahan, Israel kini mempertimbangkan untuk menduduki kembali daerah ini.
Bahkan beberapa politisi Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah mendukung ide ini dalam beberapa pekan terakhir. Peneliti senior di The International Institute for Counter-Terrorism, Dr. Ely Karmon, juga menyatakan keinginan Israel tersebut.
Namun, menurut pengamat Israel tersebut, negara itu tidak berencana untuk menduduki wilayah tersebut. Sebaliknya, ide yang diusulkan adalah untuk meningkatkan kehadiran militer di wilayah tersebut sebagai langkah untuk menjaga keamanan.
“Merebut wilayah tersebut akan sangat sulit dilakukan, hanya karena Israel memiliki perjanjian damai dengan Mesir,” klaimnya mengutip RT, Selasa (23/1).
Namun, Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Studi Arab (ACRS) di Kairo, Hany Soliman, mengungkapkan pandangan berbeda. Ia menyatakan bahwa kata-kata Netanyahu biasanya selalu diikuti dengan tindakan konkret. Terkait dengan keinginan “penguasaan” tersebut, Soliman mengatakan bahwa Israel dan sekutu dekatnya Amerika Serikat (AS) telah sepakat untuk membangun tembok bawah tanah di sepanjang perbatasan dengan Mesir.
Proyek tersebut, dengan rencana memiliki kedalaman 1 km dan panjang 13 km, akan dilengkapi dengan sensor dan teknologi canggih. Tujuannya diyakini untuk mencegah kelompok “radikal” agar tidak dapat lolos dari koridor tersebut dengan deteksi penggalian yang memungkinkan.
Soliman menyatakan bahwa pendanaan proyek ini berasal dari Amerika Serikat. Namun, kemungkinan terlaksananya inisiatif tersebut sangat tergantung pada kesediaan masyarakat Mesir, yang mungkin tidak ingin bergerak terlalu cepat.
“Pertama, pada tingkat politik dan keamanan, Mesir tidak akan menandatangani protokol seperti itu, terutama ketika ada ketidakjelasan mengenai niat Israel dan ketika ada kekhawatiran mengenai upaya Israel untuk meloloskan dan memaksakan rencana pengungsian mereka,” katanya.
“Dan kedua, jangan lupakan Otoritas Palestina. Mereka mempunyai hak penuh untuk menolak proyek ini. Mereka dapat mengklaim bahwa pendudukan poros Philadelphi tidak sesuai dengan Perjanjian Oslo dan melanggar kedaulatan mereka,” katanya.
Di sisi lain, rencana Israel juga dipengaruhi oleh opini publik. Hasil jajak pendapat terbaru dari Pusat Penelitian dan Studi Kebijakan Arab di 16 negara Arab menunjukkan bahwa 92% responden merasakan solidaritas terhadap Palestina.
Dari mereka, 89% menolak normalisasi hubungan dengan Israel, dan 36% berpendapat pemerintah mereka seharusnya memperburuk hubungan dengan pejabat di Yerusalem.
Hal ini bisa berarti bahwa menjalin kerja sama keamanan yang lebih erat antara Israel dan Mesir di koridor Philadelphia mungkin menjadi misi yang sulit diimplementasikan. Soliman juga memperingatkan bahwa kehadiran Israel di jalur tersebut dapat mengakibatkan konsekuensi serius, termasuk potensi konflik baru dengan Mesir.
“Hal ini akan ditafsirkan sebagai serangan terang-terangan terhadap perjanjian perdamaian antara kedua negara,” tambahnya.
“Hal ini akan berisiko menjadikan Mesir sebagai salah satu pihak dalam sengketa perbatasan, dan akan menghancurkan perjanjian antara Kairo dan Organisasi Pembebasan Palestina – sesuatu yang pada akhirnya akan melemahkan perjanjian damai antara kedua negara,” jelasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain