Ilustrasi

Jakarta, Aktual.com – Plt. Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPZA BPOM RI, Rita Endang, mengingatkan bahwa pada tahun 2050 diperkirakan akan terjadi 10 juta kematian setiap tahun akibat resistensi antimikroba (AMR).

“Resistensi antimikroba adalah kejadian ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit, berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan,” kata Rita Endang saat menjadi pembicara utama dalam sosialisasi pemberdayaan masyarakat mengenai resistensi antimikroba di Pekanbaru, Senin (5/2).

Rita Endang menekankan dampak negatif AMR tidak hanya dalam pengobatan infeksi tetapi juga dapat mengurangi pendapatan negara dan mendorong jutaan orang ke dalam kemiskinan ekstrem.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, Rita menyatakan perlunya keterlibatan UPT BPOM di seluruh Indonesia untuk mengatasi resistensi antimikroba secara masif dan berkesinambungan.

Hasil pemeriksaan sarana pelayanan Kefarmasian (2021 – 2023) menunjukkan penurunan persentase apotek yang menyerahkan antibiotika tanpa resep dokter pada tahun 2023. Meskipun turun, masih tercatat sebesar 70,49 persen, dengan jenis antibiotika seperti Amoksisilin, Cefadroksil, dan Cefixime sebagai yang paling sering diserahkan.

Rita menegaskan peran penting tenaga kesehatan dan masyarakat dalam upaya pengendalian AMR. Dewi Anggraini, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau, menyoroti potensi resistensi antimikroba terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat, baik dengan atau tanpa resep dokter.

“Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) perlu diperkuat, dan dokter harus lebih mematuhi pedoman penggunaan antibiotik serta menjadikan penggunaan antibiotik sebagai budaya penghargaan atau risiko,” ujar Dewi Anggraini.

Artikel ini ditulis oleh:

Jalil