Foto: Tentara Israel beroperasi di Jalur Gaza, Senin (4/12/2023). (Israel Defense Forces/Handout via REUTERS)

Ramallah, Aktua.com – Kepresidenan Palestina memperingatkan bahwa rencana serangan Israel terhadap Kota Rafah di Gaza selatan, yang berbatasan dengan Mesir, merupakan pelanggaran nyata yang tidak bisa diterima.

Pada Jumat (8/2), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan militer Israel untuk merancang rencana ganda. Rencana tersebut mencakup evakuasi warga Palestina dari Rafah, tempat tinggal lebih dari 1 juta orang yang mencari perlindungan dari perang, dan juga untuk mengalahkan batalyon terakhir kelompok Hamas di sana.

Dalam pernyataan yang dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, Kepresidenan Palestina di Tepi Barat menolak dan mengutuk keras rencana tersebut, menyatakan bahwa hal itu merupakan “rencana untuk memperluas serangan Israel ke Provinsi Rafah yang padat penduduk.”

Kepresidenan Palestina menegaskan bahwa Israel bertanggung jawab atas semua konsekuensi dari serangan tersebut. Mereka juga menekankan “tanggung jawab khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah eskalasi yang berpotensi menimbulkan bencana.”

“Rakyat Palestina tidak akan meninggalkan tanah air mereka dan menolak pengusiran paksa,” kata kantor kepresidenan.

Sejak dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada 7 Oktober 2023, penduduk di bagian utara dan tengah Gaza telah diperintahkan untuk mengungsi ke bagian selatan wilayah tersebut, menyebabkan kondisi yang penuh sesak di wilayah selatan, terutama di Rafah.

Israel terus melanjutkan serangannya di Gaza, dengan jumlah korban terus meningkat. Menurut otoritas kesehatan Palestina, setidaknya 27.947 warga Palestina telah tewas dan 67.459 lainnya terluka sejak 7 Oktober.

Serangan Israel dipicu oleh serangan lintas batas yang dilakukan oleh Hamas, yang menurut Tel Aviv menewaskan hampir 1.200 korban.

Serangan Israel juga menyebabkan 85% penduduk Gaza menjadi pengungsi yang hidup dalam kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60% infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut PBB.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan