Jakarta, Aktual.com – Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia mengingatkan kalangan anggota DPR tidak terlalu euforia dengan dana aspirasi yang sudah diajukan dalam RAPBN 2016 karena bisa berimplikasi hukum dan menjadi jebakan bagi anggota dewan di kemudian hari.

“Dana aspirasi itu kalau tidak hati-hati bisa menjadi jebakan bagi DPR sendiri. Dugaan praktik korupsi akan terbuka lebar,” kata Direktur KOPEL Indonesia Syamsuddin Alimsyah di Jakarta, Senin (15/6).

DPR melalui Badan Anggaran (Banggar) DPR telah mengajukan dana aspirasi dalam RAPBN 2016 sebesar Rp20 miliar per anggota per tahun atau Rp11,20 triliun untuk 560 anggota.

Menurut Syam, saat ini terdapat beberapa persoalan serius yang harus dijawab oleh DPR dalam rangka menjamin transparansi dan akuntabilitas dana aspirasi tersebut.

Pertama, soal mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk mekanisme validasinya yang menjamin bahwa demikian benar adalah murni kebutuhan mendesak pembangunan wilayah daerah pemilihan dan bukan sekedar titipan atau keinginan anggota DPR semata karena peluang keuntungan besar dalam program tersebut.

Dalam kerangka tersebut, maka mekanisme reses yang selama ini harus diubah menjadi lebih akuntabel.

“Harus ada pertanggungjawaban yang menjelaskan bahwa program tersebut benar lahir direses dan menjadi prioritas usulan masyarakat,” katanya.

Selain itu, mekanisme pengajuan program dapil karena basis program ini adalah daerah pemilihan yang diwakili orang berbagai orang dan partai yang membuka lebar perbedaan kebutuhan konstituen daerah pemilihan. Hal itu akan menjadi problem pada pengajuan programnya termasuk lembaga kementerian yang akan dijadikan mitra.

“Apakah semua anggota akan bebas mengajukan program dan kepada kementerian mana saja. Bagaimana pengaturan dan pengawasannya,” kata Syamsuddin.

Hal yang menjadi sorotan lainnya soal mekanisme eksekusi. Benar dana aspirasi tidak akan dikelola langsung oleh anggota DPR melainkan akan dititipkan di Lembaga Kementerian atau lembaga lainnya.

“Persoalan akan muncul adalah kerancuan dalam proses penempatan dan pengawasan pelaksanaan program. Kementerian bisa saja akan abai dalam menjaga kualitas pelaksanaan program karena menganggap bukan murni programnya yang bisa menilai kinerjanya,” katanya.

Kerancuan lain, yaitu pengaturan mekanisme pencairan atau pelaksanaan program itu sendiri dan prioritas mana yang didahulukan pelaksanaan dalam apbn yang murni program kementerian atau program dana aspirasi.

“Belum ada skema pengelolaan dan terpenting pertanggungjawaban bagi DPR sendiri atas pelaksanaan dan dampak program. Belum adanya aturan teknis tersebut selain bisa menimbulkan kerancuan dalam pengelolaannya. Yang terpenting akan terbuka lebar untuk di salah gunakan di daerah,” katanya.

Karena itu, KOPEL mendesak DPR sekarang ini seharusnya menyelesaikan aturan teknis atas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kemudian. Aturan tersebut harus memegang prinsip atau nilai yang bisa menjamin terjadinya akuntablitas.

“Selama ini DPR belum bisa melepaskan diri dari persepsi negatif oleh publik sebagai lembaga korup. Dan sekarang ada dana aspirasi kalau tidak dikelola baik, bisa semakin memperburuk citra mereka di mata konstituen.

Artikel ini ditulis oleh: