Sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009–2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan di Pengadilan TIndak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (19/2/2024). ANTARA/Fath Putra Mulya

Jakarta, Aktual.com – Penasihat Hukum Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009–2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keliru dan kontradiktif.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh tim penasihat hukum sebagai bagian dari kesimpulan nota keberatan atau eksepsi kliennya, Karen Agustiawan, dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) di Pertamina pada tahun 2011–2014.

“Penyusunan surat dakwaan juga keliru dan kontradiktif, khususnya mengenai perbuatan terdakwa,” kata salah tim penasihat hukum Karen Agustiawan, Jeffry A. Suryatin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (19/2).

Tim penasihat hukum menyatakan bahwa surat dakwaan kontradiktif karena JPU KPK menyatakan bahwa terdakwa “memberikan persetujuan”, tetapi pada bagian lainnya terdakwa disebut melakukan perbuatan “menginginkan pembelian gas”, dan ada pula narasi bahwa terdakwa “memerintahkan pembelian LNG”.

“Ini adalah perumusan yang obscuur atau kabur,” ujar Jeffry.

Selain itu, tim penasihat hukum Karen Agustiawan mengkritik surat dakwaan tersebut karena dianggap tidak cermat, jelas, dan lengkap dalam menguraikan unsur yang menyebabkan kerugian keuangan negara karena dakwaan dinilai tidak menguraikan secara jelas perbuatan yang diduga dilakukan oleh terdakwa.

Dalam hal ini, tim penasihat hukum menegaskan bahwa keputusan untuk membeli LNG dari Corpus Christi Liquefaction ditandatangani oleh direksi yang menjabat setelah masa kepemimpinan Karen Agustiawan. Oleh karena itu, tim penasihat hukum yakin bahwa kliennya tidak terlibat dalam perbuatan yang merugikan keuangan negara dimaksud.

Selain itu, pihak Karen Agustiawan juga berpendapat bahwa proses penyelidikan dan prapenuntutan yang dilakukan oleh KPK adalah cacat yuridis. Mereka menyatakan bahwa penyelidikan tersebut melanggar asas peradilan yang jujur, objektif, dan tidak memihak.

“Karena hak terdakwa untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau ahli yang menguntungkan bagi dirinya telah dilanggar dalam proses penyidikan,” kata penasihat hukum.

Berdasarkan argumen tersebut, tim penasihat hukum Karen Agustiawan memohon kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menyatakan surat dakwaan JPU KPK dibatalkan demi hukum atau tidak dapat diterima, sehingga perkara tidak diperiksa lebih lanjut dan terdakwa dibebaskan dari tahanan.

“Menyatakan Surat Dakwaan Tim JPU Nomor: 31/TUT.01.04/24/02/2024 tertanggal 2 Februari 2024 batal demi hukum; atau menyatakan Surat Dakwaan JPU Nomor: 31/TUT.01.04/24/02/2024 tertanggal 2 Februari 2024 sebagai dakwaan yang tidak dapat diterima,” ucap penasihat hukum.

Dalam kasus ini, Karen Agustiawan didakwa merugikan negara sebesar 113,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp1,77 triliun akibat dugaan korupsi terkait pengadaan LNG di Pertamina pada periode 2011–2014.

Dakwaan tersebut didasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait perhitungan kerugian negara atas pengadaan LNG dari perusahaan AS, Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) oleh Pertamina dan instansi terkait lainnya Nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.

Karen didakwa melakukan penguasaan sebesar Rp1,09 miliar dan 104.016 dolar AS atau sekitar Rp1,62 miliar. Selain itu, Karen turut didakwa memperkaya suatu korporasi, yaitu CCL senilai 113,84 juta dolar AS atau setara dengan Rp1,77 triliun, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Dalam dakwaan lainnya, Karen juga disebut memberikan persetujuan untuk pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang LNG potensial di AS tanpa pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi, analisis teknis dan ekonomis, serta analisis risiko.

Karen juga dituduh tidak meminta tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebelum menandatangani perjanjian jual beli LNG CCL Train 1 dan Train 2, serta memberikan kuasa kepada Yenni Andayani selaku Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013–2014 dan Hari Karyuliarto selaku Direktur Gas Pertamina 2012–2014.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan