Jakarta, Aktual.com – Kejaksaan Agung terus mengembangkan kasus dugaan korupsi PT Timah, yang diduga telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 271 Triliun. Namun, angka tersebut sebenarnya bukan berasal dari Laporan Hasil Perhitungan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan perhitungan, melainkan berdasarkan penilaian kerugian ekologis oleh ahli IPB.
Besarnya angka kerugian itu telah menarik perhatian publik dan berpotensi menjadi tuduhan yang tidak wajar bagi 16 orang yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka beserta keluarganya.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, dalam keterangan kepada media di Jakarta pada Rabu (3/4/2024), menjelaskan bahwa angka Rp 271 Triliun tersebut merupakan hasil perhitungan dari Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, terkait kerugian ekologis yang diamati melalui citra satelit dari tahun 2015 hingga 2022.
Yusri juga menyoroti keanehan angka tersebut, karena menurutnya jumlahnya yang mencapai Rp 271 triliun tidak masuk akal. Setiap pemilik IUP Operasi Produksi, menurut Peraturan Pemerintah nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan Mineral dan Batubara, wajib menempatkan jaminan reklamasi (jamrek) yang besarnya ditentukan oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Jaminan ini dapat digunakan untuk memulihkan lahan bekas tambang jika pemilik IUP tidak melakukan reklamasi. Bahkan jamrek ini juga merupakan syarat dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) setiap tahunnya. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah hal ini telah dipatuhi oleh pemilik IUP dengan persetujuan pejabat Ditjen Minerba. Hal ini dapat menjadi masalah serius jika tidak dipenuhi.
“Kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), jadi masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan” ujar Yusri saat dihubungi.
Yusri menambahkan penghitungan pakar IPB itu seharusnya tidak serta merta dijadikan Kejagung sebagai besaran dugaan kerugian negara. Secara konstitusional BPK lebih berhak menghitung besarnya kerugian negara.
“Jangan main-main ini loh, karena menyangkut harkat dan martabat 16 warga negara yang dijadikan tersangka beserta keluarganya,” ucap Yusri.
Menurut Yusri, ini cara tidak manusiawi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kita yang terkesan hanya sekedar mencari sensasi dengan seolah-olah menyebutkan angka fantastis sehingga menjadi wah.
“Betul saya setuju kita harus mendukung pemberantasan korupsi secara tuntas dan jangan tebang pilih, karena ini merupakan kejahatan luar biasa yang masih mendarah daging di republik kita. Tetapi harus juga dengan cara yang menjunjung hak asasi manusia,” tegas Yusri.
Yusri menyampaikan kekhawatirannya karena cara aparat penegak hukum mencari sensasi ini malah menjadi plesetan di masyarakat. “Malah telah mendidik masyarakat kita tidak sehat dan menjadi pergunjingan yang tidak sesuai dan terkesan dibesar-besarkan,” ungkapnya.
Yusri pun menambahkan kewenangan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Sehingga sebagai lembaga pemeriksa tertinggi harus menghitung kerugian negara secara adil, bijaksana, objektif dan komperhensif terhadap dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk agar publik tidak simpang siur memahaminya,” pungkas Yusri.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra