Ilustrasi orang tua dan anak.

Jakarta, Aktual.com – Hubungan antara orang tua dengan anak di masyarakat kita pada umumnya berjalan dalam pola relasi kuasa. Artinya, orang tua “berkuasa” terhadap anak dan anak harus “patuh buta” kepala orang tua. Ada ketimpangan kuasa dalam hubungan antarsubjek.

Demikian juga dengan hubungan pasangan suami istri. Budaya patriarki telah membawa keadaan pada relasi kuasa suami terhadap istri.

Tidak jarang dalam relasi kuasa ini, pihak-pihak yang “dikuasai” harus kalah, bahkan begitu banyak terungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga, dengan istri dan anak selalu menjadi korban.

Atas mulai terkuaknya kasus-kasus kekerasan hingga berujung pada tindakan kriminal itu membuat komunitas “Ngopi Bareng” yang selama ini belajar intensif mengenai ilmu kesadaran, tergerak untuk mengingatkan masyarakat mengevaluasi kembali pola hubungan dalam keluarga.

Komunitas yang salah satu penggeraknya adalah Prof. Ridho Bayuaji, ST, MT, Ph.D, Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, ini memandang bahwa menyelamatkan keluarga menjadi sangat penting untuk menyelamatkan generasi mendatang.

Pola hubungan dalam relasi kuasa di keluarga, meskipun tidak sampai menimbulkan tindakan kriminal, sangat berdampak pada kualitas anak-anak yang di pundak mereka masa depan bangsa ini kita harapkan.

Anak-anak yang lahir, tumbuh, dan besar di keluarga harmonis dan damai, diyakini lebih memiliki kualitas untuk mengambil peran di masyarakat dibandingkan dengan anak-anak yang tumbuh di keluarga yang penuh kegaduhan.

Anak-anak yang tumbuh di keluarga tidak harmonis harus berkutat menyelesaikan masalah jiwanya, sebelum meraih prestasi dan kemudian mengambil peran tanggung jawab di masyarakat. Anak-anak itu menjadi korban budaya sehingga tidak sadar tumbuh menjadi sosok dengan jiwa seperti mekanik atau mesin.

Konsekuensinya, mereka banyak melewati waktu yang terbuang untuk berperan dalam kiprah sosial, bahkan sama sekali tidak berani mengambil tanggung jawab dalam peran tersebut. Anak-anak menjadi minder, bahkan bisa bergumul dalam stres berkepanjangan, hingga terjerumus ke dalam perilaku menyimpang.

Dalam konteks berkeluarga, anak-anak yang tumbuh di keluarga yang penuh kekerasan juga akan terjebak dalam kubangan pernikahan yang penuh konflik. Kalau di masa kecil mereka merupakan korban dari tindakan orang tuanya, ketika berkeluarga, mereka akan menjadi pelaku. Begitulah siklus suasana keluarga itu terus berulang jika tidak ada upaya untuk menanganinya secara mendasar.

Pada umumnya, anggota komunitas “Ngopi Bareng” ini adalah mereka yang dulunya menjadi korban dan kini menjadi pelaku sehingga anak-anaknya bermasalah.

Ketika belajar ilmu kesadaran dan mulai diterapkan di keluarga, mereka merasakan adanya perubahan dari perilaku anak-anaknya yang dulunya dianggap bermasalah, kini menjadi lebih baik.

Ada yang kecanduan game hingga “mampu” bermain berjam-jam dan tidak mau lagi belajar, kini anak-anak itu gila membaca dan tertarik untuk juga belajar ilmu kesadaran.

Ada juga anak yang temperamental, hingga orang tuanya terjebak dalam pola pengasuhan yang marah-marah, kini anak mulai berkompromi karena jiwanya menjadi lebih damai dan berani mengungkapkan perasaannya dengan cara yang santun.

Demikian pula dengan suami istri yang terjebak dalam hubungan yang setiap saat saling melihat kekurangan pasangan, mereka mulai menurunkan “tensi” berbicara dengan pola komunikasi yang setara dan saling menghargai satu sama lainnya.

Bahkan, pasangan yang dulu sudah berada di tubir jurang perceraian, kembali harmonis dengan mempertahan sikap saling menghargai. Tentu anak-anak mereka terselamatkan sehingga mereka kelak tidak mewarisi sikap orang tuanya jika kelak sudah menikah.

Program yang digagas oleh komunitas ini adalah mengajak berbincang masyarakat yang tertarik untuk menyelamatkan keluarganya, dengan berkeliling ke kabupaten dan kota di Jawa Timur. Program ini pertama kali digelar di Kota Probolinggo yang diikuti oleh pengurus organisasi keagamaan dan pengurus salah satu partai politik.

Saking tertariknya, pengurus organisasi keagamaan dan pengurus partai politik itu juga berencana menggelar kegiatan serupa untuk anggota dan pengurus organisasi dan partai politik itu.

Nilai orang tua

Cara pertama yang dilakukan oleh komunitas itu mengevaluasi kualitas keluarga adalah dengan belajar. Dalam ilmu kesadaran dibabar bagaimana perilaku yang tampak dan keadaan yang terperagakan dalam keseharian, seperti kebahagiaan, kondisi ekonomi, dan lainnya, sesungguhnya merupakan cerminan dari keadaan jiwa.

Dengan belajar ilmu kesadaran ini, kita diajak untuk selalu fokus ke dalam diri sehingga tidak terjebak dalam perilaku yang digerakkan oleh ego. Disebutkan bahwa semua yang tampak dalam kehidupan kita sejatinya karena ada medan penarik di dalam jiwa yang harus selalu diamati dan dicermati.

Ketika seorang suami dan ayah mendapati istrinya hanya marah-marah dan anak-anaknya tidak sesuai dengan yang diharapkan, jangan buru-buru menyalahkan istri dan anak-anak.

Si suami harus selalu mawas untuk mengoreksi jiwanya, bukan melihat kenyataan yang di luar dan menyalah-nyalahkan kenyataan yang dialami itu.

Prinsipnya kita tidak bisa mengubah kenyataan yang di luar, kalau yang di dalam diri kita tidak diubah.

Mawas terhadap keadaan jiwa itu tidak mengharuskan seseorang terjebak dalam rasa bersalah atau menyalahkan diri terus menerus. Cukup amati apa yang dialami oleh jiwa seorang suami itu ketika menghadapi istrinya marah-marah dan anak-anaknya “membuat masalah”.

Tentu, praktik mengamati jiwa ini akan lebih efektif jika pasangan suami istri juga belajar sehingga ada kolaborasi yang bagus untuk mendayung biduk rumah tangga itu menuju keadaan yang sama-sama bahagia, bahkan, hingga menuju pada keadaan yang diingatkan oleh agama, yakni “rumahku adalah surgaku”.

Tindakan lanjut dari keterampilan diri yang selalu mawas terhadap gerak jiwa itu adalah kesediaan untuk dievaluasi oleh anggota keluarga.

Jika si suami dan istri belum selesai dengan gemuruh jiwanya saat menghadapi berbagai kenyataan, maka saling evaluasi itu justru akan memantik persoalan baru, bahkan akan menjadi ajang saling protes.

Praktik penyampaian rapor, khususnya dari anak kepada ayah ibunya ini juga berdampak pada pemulihan jiwa anak, yang sebelumnya mungkin hanya merasa sebagai sosok yang selalu dipantau (disalahkan) oleh orang tua, kini sebaliknya. Harga diri anak mulai tumbuh bahwa ia juga berharga di hadapan orang tuanya.

Pada penyampaian rapor ini, pastikan anak-anak berada dalam suasana batin yang nyaman saat mendengarkan.

Salah satu mentor dalam komunitas ini Ari Destari menekankan, orang tua harus menerima penilaian itu apa adanya dan tidak boleh membantah apa yang disampaikan oleh anak-anak.

Dalam suasana komunikasi yang setara ini, orang tua harus siap menerima kekurangan dalam perannya sebagai ayah dan suami.

Rapor dari anak dan istri itu bisa dalam bentuk kuantitatif, yakni menentukan angka dalam skala 1-10 atau kualitatif berupa penjelasan di mana sikap si ayah yang perlu diperbaiki karena membuat tidak nyaman anak atau istri.

Rapor ini bisa dilakukan berkala, misalnya, sebulan sekali, sepekan sekali atau bahkan, setiap 2 hari sekali. Objek penilaian bisa digilir, bukan hanya dari anak terhadap orang tua, tapi juga dari orang tua terhadap anak dan dari suami terhadap istri.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra