Jakarta, aktual.com – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengatakan bahwa penerapan kecerdasan artifisial (AI) pada sistem peradilan tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga transparansi dan keadilan prosedural.

“Berbicara mengenai kecerdasan buatan, penerapan AI pada sistem peradilan tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga meningkatkan transparansi dan keadilan prosedural,” kata Suhartoyo saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional di Universitas Sebelas Maret sebagaimana diikuti daring dari Jakarta, Sabtu (11/5).

Menurut Suhartoyo, kehadiran AI harus dikelola dengan bijak agar perkembangan teknologi tidak menjadikan manusia sebagai budak mesin. Dia pun mengingatkan supaya AI tidak menggantikan kebijaksanaan konstitusional dan substansial yang dijunjung tinggi selama ini.

“Di MK, kami terus-menerus berusaha untuk tidak hanya mengikuti, tetapi juga menentukan arah masa depan peradilan yang adil,” imbuhnya.

MK, kata Suhartoyo, melihat AI sebagai alat yang memperkaya cara dalam memberikan layanan informasi yang cepat, tepat, dan akurat dalam tahapan penyelesaian perkara. Namun, MK menyadari teknologi baru harus diintegrasikan dengan hati-hati dan pertimbangan etis yang ketat.

“Dalam konteks transformasi hukum, dituntut untuk tidak hanya kritis mengevaluasi norma-norma hukum yang ada, tetapi juga harus proaktif memberikan sumbangsih untuk menginisiasi perubahan norma hukum agar norma hukum tersebut pada kenyataannya mampu menjawab tantangan zaman,” ucapnya.

Seminar nasional tersebut mengangkat tema Adaptasi AI sebagai Bentuk Progresivitas MK dalam Merespons Enigma Transformasi Peradilan Konstitusi. Pada kesempatan itu, Suhartoyo mengajak civitas academica untuk tetap kritis dalam mengadopsi perkembangan teknologi.

“Saya mengajak Anda semua untuk tidak melihat AI sebagai alat, tetapi juga sebagai tantangan berpikir lebih dalam, kritis, dan inovatif tentang masa depan peradilan kita,” ucap Ketua MK.

Suhartoyo mengemukakan bahwa masyarakat kampus memiliki peran krusial sebagai sahabat pengadilan bagi MK.

Ia mengaku MK kerap membutuhkan pemikiran dan gagasan, analisis, kajian, maupun penelitian akademik yang dibangun di atas dasar nalar kritis dan inovatif di kalangan kampus.

“Masyarakat kampus atau civitas academica menjadi aktor penting dalam memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengawal proses kita berhukum sejak perumusan dan pembentukan hukum, perubahan dan pembaruan kebijakan hukum, termasuk juga dalam pelaksanaan hukum di Indonesia,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain