Jakarta, Aktual.co — Pengamat Hukum Tata Negara Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (Sigma) Said Salahudin mengatakan penetapan UU Pilkada masih menyisakan tiga persoalan yang memerlukan penyelesaian masalah secara cepat.
“Karena dalam waktu dekat akan diselenggarakan Pilkada di banyak daerah. Persoalan pertama terkait dengan pengujian Perpu Pilkada yang masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemungkinan MK akan memutus perkara itu dalam beberapa waktu kedepan,” kata Said Salahudin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (20/1).
Menurut Said, apabila putusan MK menyatakan Perpu Pilkada inkonstitusional, maka tentu akan memunculkan permasalahan hukum baru disitu. Bagaimana mungkin UU Pilkada yang berasal dari RUU yang inkonstitusional akan dijadikan sebagai dasar hukum Pilkada? “Kalau MK menyatakan Perpu Pilkada tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau permohonan pengujian Perpu dianggap tidak relevan lagi diadili oleh MK karena Perpu tersebut sudah berganti baju menjadi UU, misalnya, maka persoalan pertama ini selesai dengan sendirinya,” kata dia.
Persoalan kedua, lanjut dia, adalah terkait dengan posisi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada.
Hal ini sebetulnya masih rawan dipermasalahkan secara hukum, karena telah ada Putusan MK Nomor 97/2014 yang menyatakan bahwa Pilkada bukanlah pemilihan umum.
Karena Pilkada bukan lagi termasuk dalam rezim Pemilu, sehingga MK menyatakan lembaganya tidak berwenang lagi memutus perkara perselisihan hasil Pilkada.
“Maka pertanyaannya kemudian adalah: Apakah komisi pemilihan umum dan pengawas pemilihan umum dapat dikatakan konstitusional menjadi penyelenggara dari suatu pemilihan yang bukan pemilihan umum?,” ujar dia.
Artinya, ia mengutarakan, apabila UU Pilkada disoal ke MK, lalu MK menyatakan KPU dan Bawaslu tidak berwenang menyelenggarakan Pilkada, lantas bagaimana nasib penyelenggaraan Pilkada nantinya? Apakah penyelenggaraan dan hasil Pilkada itu dapat dikatakan sah? “Ketiga, masih adanya permasalahan yang terkait dengan teknis dan penyelesaian hasil Pilkada. Soal kepala daerah yang tidak lagi dipilih secara paket, misalnya. Disitu kan masih memunculkan perdebatan dari aspek politik dan hukumnya. Lalu soal mekanisme uji publik yang belum clear format dan efektifitasnya. Belum lagi soal penentuan lembaga mana yang akan mengadili hasil Pilkada. Itu kan masih belum jelas,” kata dia.
Meskipun demikian, lanjut dia, penetapan RUU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota atau Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) menjadi undang-undang patut disyukuri karena proses politik atas penetapan UU Pilkada itu berjalan “smooth” di DPR.
“Sama sekali tidak muncul perdebatan sengit, apalagi keributan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Adanya kesepahaman diantara dua koalisi parpol, yakni KMP dan KIH dalam soal ini pada tingkat tertentu memperlihatkan kinerja DPR mulai membaik, sekurangnya dalam hal menyelesaikan perbedaan pandangan politik diantara fraksi-fraksi,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh:

















