Jakarta, aktual.com – Di balik kilauan harapan hilirisasi nikel yang dijanjikan pemerintah sebagai pendorong ekonomi nasional, laporan terbaru oleh Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia mengungkap realitas pahit di lapangan. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, justru menunjukkan gambaran suram tentang eksploitasi ketenagakerjaan, kecelakaan kerja, hingga pelanggaran hak-hak buruh yang semakin merajalela.
Meski pemerintah menjanjikan hilirisasi sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kenyataan di IMIP berkata lain. Sistem perekrutan yang tidak transparan, kontrak kerja yang tidak stabil, hingga jam kerja yang memaksa buruh untuk mengambil lembur demi upah layak adalah beberapa persoalan mendasar. IMIP memusatkan seluruh proses ketenagakerjaan di kawasan tersebut, menciptakan situasi yang memudahkan mutasi buruh secara sewenang-wenang tanpa dokumen komprehensif. Buruh yang menolak mutasi kerap menerima ancaman, mulai dari pemotongan upah hingga pemaksaan pengunduran diri.
Menurut Catur Widi dari Rasamala Hijau Indonesia, kondisi kerja yang tidak manusiawi ini menyebabkan tekanan psikososial yang signifikan. Buruh dipaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru tanpa kepastian masa depan. Upah yang rendah, ketergantungan pada lembur, serta jam kerja yang bisa mencapai 24 jam dalam kondisi berbahaya menambah daftar panjang problematika. Kondisi kerja ini diperparah dengan minimnya Alat Pelindung Diri (APD) yang layak, meskipun buruh kerap bekerja dengan alat berat, di suhu ekstrem, dan terpapar bahan kimia berbahaya.
Tragedi Kecelakaan Kerja dan Tidak Adanya Sanksi Pemerintah
Laporan juga mencatat bahwa selama 2015-2022, ada 18 insiden kecelakaan kerja di IMIP, menyebabkan 15 korban meninggal dan 41 luka-luka. Sementara itu, selama 2015-2023, ada 93 insiden di seluruh wilayah industri nikel di Indonesia, dengan 91 korban jiwa dan 158 luka-luka. Meski angka ini begitu tinggi, pemerintah belum memberi sanksi tegas kepada perusahaan-perusahaan pelanggar, meski korban terus berjatuhan. Aziz Dumpa, Direktur LBH Makassar, menyebut situasi ini sebagai “laborsida” — pembunuhan sistemik terhadap buruh.
Diskriminasi Gender dan Kekerasan Seksual di IMIP
Selain kondisi kerja yang buruk, buruh perempuan di IMIP menghadapi diskriminasi gender yang mengakar. Mereka kerap diberi beban kerja ganda, dibayar lebih rendah daripada rekan laki-laki, serta menghadapi pelecehan dan kekerasan seksual yang tak terselesaikan. Banyak kasus diselesaikan secara “damai,” tanpa sanksi bagi pelaku, sehingga menimbulkan ketakutan bagi korban untuk melapor. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tidak adanya fasilitas yang mendukung hak-hak perempuan, seperti ruang laktasi dan cuti haid.
Manipulasi Ketenagakerjaan di Bawah UU Cipta Kerja
Menurut Sunarno, Ketua Umum KASBI, masalah ini berakar dari UU Cipta Kerja yang mengutamakan fleksibilitas tenaga kerja untuk keuntungan perusahaan, sementara buruh terjebak dalam perjanjian kerja yang eksploitatif. Bahkan, fasilitas dasar seperti layanan kesehatan dan transportasi sangat minim. Pada kejadian ledakan smelter PT ITSS di IMIP, Desember 2023, korban dibawa menggunakan truk, mencerminkan rendahnya standar keselamatan dan kesehatan kerja.
Kemiskinan Tetap Tinggi, Hilirisasi Hanya untuk Keuntungan Korporasi
Ironisnya, di tengah proyek hilirisasi yang dijalankan dengan gencar, angka kemiskinan di provinsi penghasil nikel justru naik. Data BPS 2023 menunjukkan peningkatan angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Pembangunan yang seharusnya membawa kemakmuran malah meminggirkan masyarakat setempat.
Seruan untuk Perubahan dan Advokasi yang Lebih Sistematis
Sunarno menegaskan bahwa pelanggaran terhadap buruh tidak boleh dianggap remeh. Serikat pekerja harus berperan lebih aktif dalam mengadvokasi hak-hak buruh dan melawan praktik-praktik ketidakadilan. “Kita harus bersatu dan melawan pelanggaran ini. Hilirisasi nikel seharusnya membawa manfaat bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang,” tegasnya.
Laporan ini membuka mata kita bahwa hilirisasi nikel di Indonesia, yang semula digadang-gadang sebagai solusi peningkatan ekonomi, ternyata menyimpan tragedi-tragedi kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano