Ketua MPR Bambang Soesatyo menyerahkan berkas surat keputusan kepada istri Presiden RI Keempat Sinta Nuriyah pada Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (29/9/2024). Aktual/DOK MPR RI

Jakarta, aktual.com – Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo menegaskan TAP MPR Nomor II/ MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, kedudukan hukumnya sudah tidak berlaku lagi. Karenanya seluruh implikasi hukum yang terkait menjadi gugur dengan sendirinya. Penegasan ini tercermin dari pandangan akhir fraksi MPR dan kelompok DPD RI, serta telah disampaikan di dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024 pada tanggal 25 September 2024.

“Sebelumnya, pimpinan MPR telah menerima surat dari Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR Nomor 082/FPKBMPR/09/2024, yang substansinya adalah mengusulkan pengkajian kembali pasal 1 TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik
Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Dengan tindakan administratif sebagai penegasan bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, dalam kerangka pemulihan nama baik Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid,” ujar Bamsoet dalam Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR bersama Keluarga Besar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid di Gedung Parlemen Jakarta, Minggu (29/9/24).

Hadir antara lain Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Jazilul Fawaid, Hidayat Nur Wahid dan Fadel Muhammad, Ketua Fraksi PPP MPR RI Arwani Thomafi, Rocky Gerung, Franz Magnis Suseno, Jimly Asshiddiqie serta Mohammad Mahfud MD.

Sementara keluarga besar Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid hadir Shinta Nuriyah Wahid, Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Ariffah Chafsoh, Anita Hayatunnufus, serta Inayah Wulandari.

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, merujuk pada ketentuan pasal 6 TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, adalah TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut. Baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

“Dengan demikian, Pimpinan MPR melalui surat kepada Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR menegaskan bahwa bahwa TAP MPR Nomor II/MPR/2001, saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi. Dokumen tembusan surat juga diberikan kepada Keluarga besar mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden RI Joko Widodo serta kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto melalui Kementerian Hukum dan HAM,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, dalam usianya yang ke 79-tahun, Indonesia memiliki tujuh presiden yang mendapatkan julukan berdasarkan pada pencapaian masing-masing. Presiden Soekarno dikenal sebagai Bapak Proklamator, Presiden Soeharto Bapak Pembangunan, Presiden Habibie Bapak Teknologi, Presiden Megawati Ibu Penegak Konstitusi, Presiden SBY Bapak Perdamaian, dan Presiden Jokowi Bapak Infrastruktur. Sedangkan Gus Dur adalah Bapak Pluralisme.

Keberpihakan Gus Dur pada pluralisme tidak terlepas dari komitmen kuatnya untuk menegakkan supremasi demokrasi yang berbasis pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Bagi Gus Dur, memajukan demokrasi haruslah dalam satu tarikan nafas dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perjuangan untuk mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

“Begitu besar jasa-jasa Gus Dur dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi, demokrasi, dan keadilan sosial. Karena itu, rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid dipertimbangkan oleh pemerintah mendatang untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta selaras dengan martabat kemanusiaan, jasa-jasa, dan pengabdiannya pada bangsa dan negara,” pungkas Bamsoet.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano