Agus Widjadjanto SH Praktisi Hukum. Aktual/DOK PRIBADI

Pada tanggal 15 Oktober 2024 kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi), meneken/menandatangani Peraturan Presiden (Peppers) Nomor 122 Tahun 2024, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri yang melatar belakangi pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri.

Terkait ketentuan pembentukan Kortastipidkor Polri, tercantum pada sisipan Pasal 20 A yang menyatakan “Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat KortasTipidkor, merupakan unsur pelaksana tugas pokok bidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berada dibawah Kapolri, bertugas membantu Kapolri dalam membina dan menyelenggarakan pencegahan, penyelidikan dan penyidikan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), dari tindak pidana korupsi, serta melaksanakan penelusuran dan pengamanan aset dari tindak pidana korupsi. KortasTipidkor dipimpin oleh seorang bintang dua, yang dibawahnya dibantu oleh wakil ketua dan tiga direktorat/divisi, yakni divisi pencegahan, penindakan dan kerjasama antara lembaga. Dan hal ini sama dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tentu akan terjadi overlaping atau tumpang tindih dalam penanganan, uang justru akan memboroskan dana APBN, dalam pembiayaan penindakan tindak pidana korupsi di tiga lembaga hukum yang terpisah.

Seperti kita Ketahui KPK merupakan lembaga ad hoc yaitu lembaga yang bersifat sementara, sekali, tertentu, dan atau bersifat khusus. Namun mantan Ketua KPK Agus Rahardjo meminta agar KPK tidak lagi disebut lembaga ad hoc/khusus, karena KPK akan terus ada dan dikembangkan didaerah. Namun apakah hal Ini secara pencegahan bisa menyurutkan dalam penurunan orang dalam tindak pidana korupsi ? Sampai kapanpun sangat sulit jikalau akar permasalahannya tidak diselesaikan dari hulu ke hilir, baik secara budaya, maupun sistemnya yang mendorong orang tetap melakukan korupsi. Kita ambil contoh sistem Pemilu langsung dalam Pilkada, yang tentu cost yang ditimbulkan sangat besar, yang ujung-ujungnya juga keinginan mengembalikan modal merupakan hal yang paling prioritas yang berujung pada KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan mempertimbangkan gratifikasi untuk tidak lagi masuk dalam delik pidana tindak pidana korupsi, yang sudah dianut oleh Jepang yang merupakan budaya bangsa sebagai ucapan rasa terimakasih sama halnya di Indonesia.

Melihat tumpang tindih kewenangan tersebut maka alangkah bijak apabila kita kembali menoleh kebelakang sejarah terbentuknya lembaga ad hoc KPK yang dibentuk karena tidak bergiginya lembaga hukum Kejaksaan dan di Kepolisian dalam hal ini di Bareskrim. Dengan tandatanganinya Perpres o
122 Tahun 2024, oleh Presiden Jokowi, maka sebagai upaya penguatan penindakan dan pencegahan tindak pidana korupsi di Bareskrim Mabes Polri, maka lembaga anti rasuah juga harus ditinjau ulang keberadaannya agar tidak terjadi overlaping atau tumpang tindih.

Dalam bincang Ngopi Bareng sore hari di Bandung dengan Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Bandung yakni Prof.Dr. I Gde Pantja Astawa, beliau secara tegas memberikan statment soal telah ditandatanganinya Perpres No.122 Tahun 2024 tentang Lembentukan KortasTipidkor dibawah langsung Kapolri, yang isinya menyatakan:

Tiga Institusi

Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, sampai saat ini sudah ada 3 institusi yang diberikan kewenangan secara atributif melaksanakan pemberantasan korupsi, yaitu: 2 institusi yang bersifat permanen (Polri dan Kejaksaan); 1 institusi yang beraifat ad hoc (KPK).

Organ yang ada dalam tubuh Polri yang terkait dengan pemberantasan korupsi adalah Bareskrim, sedangkan organ yang ada dalam tubuh Kejaksaan adalah Jam Pidsus. Sementara itu, di luar institusi yang permanen tersebut, terdapat 1 institusi independence, yaitu KPK walaupun bersifat ad hoc. Ketiga institusi tersebut sama-sama diberikan kewenangan dalam penanganan Tipikor. Bedanya, Polri hanya sebatas melakukan ‘Lidik’, sedangkan Kejaksaan dan KPK selain ‘Lidik’ juga melakukan penuntutan. Jadi, dari segi kelembagaan, ada 3 institusi yang sama-sama diberikan kewenangan melakukan pemberantasan Tipikor (mulai dari lidik sampai penuntutan). Itu sudah relatif cukup kuat untuk memerangi korupsi.

Lalu pertannyaannya? apa (lagi) urgensinya dibentuk Kortastipidkor berdasarkan Perpres No.122/2024 tentang SOTK Polri? Ketiga institusi yang sudah ada saja, -pada tataran das sein (praktek penegakan hukum pemberantasan korupsi) sudah dan masih menyisakan masalah yang bukan hanya terjadi over laping, juga gesekan di antara ketiga institusi tersebut, Selain menunjukan masih kuatnya ego sektoral masing-masing serta lemahnya koordinasi dan sinergitas ketiga institusi tersebut, sehingga korupsi bukan semakin berkurang (apalagi sampai hilang), malah kian marak secara kuantitas dan kualitasnya. Dengan kata lain, pemberantasan korupsi tidak/belum berhasil sekurang-kurangnya menekan tingkat Tipikor sampai ke titik nadir, satu dan lain hal lebih disebabkan oleh model pendekatan retributif yang lebih mendahulukan menghukum pelaku Tipikor, dengan maksud dan tujuan menimbulkan deterent effect (efek jera) daripada memulihkan kerugian negara secara utuh (restorative) tanpa diimbangi dengan upaya pencegahan yang dilakukan secara intensif, masif, dan komprehensif.

Beranjak dari konstatasi yang demikian itu, maka konsep yang perlu dipertimbangkan untuk langkah pemberantasan tipikor ke depan adalah :
1. Dari sisi regulasi, karena relatif banyak UU yang terkait dengan Tipikor yang tumpang tindih, maka menjadi urgen/mendesak dibentuk 1 UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang kelak memadukan, mengharmonisasikan, dan mensinkronkan sejumlah UU yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi;

2. ⁠Mengubah model pendekatan Retributif menjadi model pendekatan restoratif, dengan menjadikan Hukum Administrasi sebagai ‘Primum Remedium’ dan Hukum Pidana sebagai ‘Ultimum Remedium’, dengan mengadopsi kosep “‘Defered Presecution Agreement’ (Perjanjian Penundaan Penuntutan), yaitu memerintahkan pelaku Tipikor mengembalikan kerugian negara seutuhnya (bila perlu diancam 10 X lipat dari kerugian negara yang ditimbulkannya). Bila pelaku tidak bersedia, barulah dijatuhi sanksi pidana badan seberat mungkin. Jadi sanksi administratif (berupa pengembalian kerugian negara yang lebih didahulukan), barulah sanksi pidana dijatuhkan bila pelaku tidak bersedia mengembalikannya;

3. ⁠Ubah pola penyelesaian Tipikor dari pemberantasan kepada pencegahan yang lebih diutamakan (minimal berimbang antara pencegahan dan pemberantasan);

4. ⁠Bubarkan KPK (yang bersifat ad hoc) dengan memperkuat Polri dan Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang permanen;

5. Partisipasi dan kontribusi dari segenap stake holders harus dibangun secara sinergitas (dari aparatur negara, aparat penegak hukum dan masyarakat).

Namun yang terpenting dari semua itu adalah ‘Action Plan’ atau tindakan nyata, bukan NATO (No Action Talk Only).

Dengan demikian, pembentukan Kortastipidkor tidak akan pernah menyelesaikan masalah, selain hanya akan menimbulkan dan menyisakan masalah baru, baik secara internal di dalam tubuh Polri akan timbul over laping dan gesekan antara Bareskrim dan Kortastipidkor, maupun secara eksternal dengan Kejaksaan dan KPK.

Oleh: Agus Widjajanto, Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Sosial, Budaya, Hukum dan Sejarah bangsanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano