Jakarta, aktual.com – Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta semakin mendekat, dengan suasana politik yang kian memanas. Berbagai opini dari masyarakat bermunculan, baik di dunia nyata maupun di media sosial, termasuk pandangan mengenai Ridwan Kamil (RK), Gubernur Jawa Barat yang saat ini mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan kisah Nita, seorang wanita asal Cianjur, Jawa Barat, yang mengaku terpaksa bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi.
Dalam video tersebut, Nita menjelaskan bahwa keputusan ini ia ambil karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di daerah asalnya selama kepemimpinan Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat.
Dengan rambut yang dikepang setengah, Nita menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh seorang wanita yang merekam video tersebut. “Kerja apa, Mbak?” tanya si perekam.
Nita, yang tampak sederhana, menjawab bahwa ia telah menjadi TKW di Arab Saudi selama empat tahun terakhir. Alasan utamanya, kata Nita, adalah karena di daerahnya, khususnya Jawa Barat, tidak ada pekerjaan yang layak untuknya.
Ketika ditanya tentang siapa Gubernur daerah asalnya, Nita tampak tidak tahu. “Siapa Gubernurnya?” tanya wanita yang merekam video tersebut. “Saya tidak tahu,” jawab Nita polos.
Sang perekam pun menambahkan bahwa Gubernur Jawa Barat adalah Ridwan Kamil, yang saat ini mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Sekarang Ridwan Kamil mau jadi Gubernur Jakarta. Menurut Mbak Nita, setuju enggak?” tanya si perekam.
Respon Nita sangat tegas. Ia menyarankan agar tidak memilih Ridwan Kamil karena selama menjadi Gubernur Jawa Barat, ia merasa daerahnya tidak mengalami kemajuan yang berarti.
“Jangan pilih, karena di kampung tidak ada kemajuan. Sama seperti dulu, enggak ada perubahan, baik dari segi pembangunan jalan maupun fasilitas sekolah,” jelas Nita.
Pengamat memberikan pandangannya terkait pernyataan Nita dalam video yang viral tersebut. Apa yang disampaikan Nita merepresentasikan suara sebagian masyarakat di daerah yang merasa pembangunan di era Ridwan Kamil belum merata.
Memang ada kemajuan di beberapa kota besar di Jawa Barat, seperti Bandung dan Bogor, tetapi di sisi lain, banyak wilayah yang merasa tertinggal. Kasus seperti Nita ini mencerminkan kurangnya lapangan pekerjaan di pedesaan yang memaksa banyak warga, terutama perempuan, untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri.
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, pasangan calon Pramono-Rano Karno memiliki potensi untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Salah satu program yang dinilai paling realistis adalah pengembangan Balai Latihan Kerja (BLK) modern, sebagai jawaban atas tantangan mismatch antara dunia industri dan tenaga kerja yang saat ini masih menjadi masalah utama.
“Masalah ketenagakerjaan paling dasar adalah mismatch antara supply dan demand tenaga kerja. Banyak lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri, dan ini yang menyebabkan angka pengangguran di kalangan anak muda, khususnya generasi Z, terus meningkat,” ujar Nailul Huda.
Inisiatif Pramono-Rano untuk mengembangkan BLK modern sangat tepat, karena BLK dapat menjadi ujung tombak dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM). Dengan adanya pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan industri, tenaga kerja yang dihasilkan akan lebih siap untuk memasuki pasar kerja.
Karena itu, yang harus dilakukan adalah mendorong peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan di BLK, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, Nita menjadi cerminan, masih ada disparitas antara kebijakan dan kenyataan di masyarakat. Karena itu, calon gubernur Jakarta, harus memiliki program jelas terarah.
Ia menilai, pasangan Pramono-Rano cenderung lebih realistis, misal dengan program Jakarta Produktif. Aspek-aspek dasar seperti gizi, pendapatan, dan hunian yang sehat merupakan bagian integral dari program ini.
Dalam konteks produktivitas, Karyono menekankan pentingnya kebijakan yang konkret. Ketika berbicara soal produktivitas, diperlukan kebijakan yang bisa mendukung masyarakat dalam mendapatkan akses ke modal usaha.
Karyono juga menekankan bahwa aspek-aspek kesehatan dan produktivitas tersebut adalah modal utama untuk membangun Jakarta yang lebih baik ke depannya.
“Jika aspek-aspek ini dapat diperhatikan dan diimplementasikan dengan baik, maka program ini tidak hanya akan meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif di Jakarta,” tutupnya.
Sementara itu, Pengamat politik dari Al-Azhar Ujang Komarudin menganggap fenomena adanya keluhanan warga, seperti disampaikan Nita, sangat wajar. Karena, mereka mengatahui betul apa yang dirasakan selama pemimpin itu menjabat.
“Wajar saja, karena masyarakat pasti tahu betul apa yang mereka rasakan. Karena bisa saja selama dia menjabat, bantuan-bantuan itu tidak sampai ke daerah aslanya,” kata Ujang ketika dimintai pendapatnya, Kamis malam (24/10).
Program-program daerah tentunya, kata Ujang, perlu dicari akar masalahnya. Kenapa kemudian, ada daerah yang seharusnya dibangun, tetapi kenapa berhenti di jalan.
“Ini yang harus menjadi evaluasi, karena Jawa Barat itu luas, mungkin saja bantuan-bantuan tidak merata, dan tentunya harus dicari akar masalahnya,” beber dia.
Ujang pun tidak mau berspekulasi adanya keluahan warga tersebut. Karena Ujang mengajak agar itu menjadi evaluasi bagi Ridwan Kamil.
“Kembali ke program yang ditawarkan oleh RK, di Jabar tentu berbeda, nah di DKI ini tentunya menjadi PR, agar program itu berjalan. Ini skalanya DKI tentu harus berpikir keras,” ujar dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano