Agus Widjajanto Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik dan Budaya Bangsanya, tinggal di Jakarta. DOK PRIBADI

Kelangsungan dari sebuah bangsa terletak pada pundak pundak anak bangsa itu sendiri untuk mempertahankan eksistensi dari bangsa tersebut ditengah percaturan situasi global dan Kawasan yang tidak menentu yang suatu saat bisa meletus konflik yang menyeret bangsa ini dalam pusaran kepentingan negara negara Adi Daya, dikarenakan letak nya yang sangat strategis secara geografis digaris katulistiwa, dan dikaruniai wilayah laut yang luas dengan tiga ALKI, sebagai jalur alternatif paling efektif dalam tranportasi laut antar benua, menuju samudera Hindia, sebagai sebuah negara kepulauan.

Ada yang berpendapat dalam scenario Writing, dari ahli ahli inteljen terkemuka bahwa kemungkinan Indonesia bisa bubar pada tahun 2030 seperti yang pernah disampaikan oleh Prabowo Subiyanto dalam sebuah pidato politik nya. Hal itu tergantung dari pada kesiapan dan kemauan dari para anak bangsa beserta tokoh tokoh politik yang ada, untuk tetap berkomitment mempertahankan keberadaan dari Bangsa ini yang bernama Indonesia.

Kondisi yang sangat memprihatinkan dalam penegakan hukum di negeri ini, dimana telah ditangkapnya para mantan pejabat MA yang didapatkan uang cash hampir satu trilyun, merupakan indikasi dari ketidak beresan dari para pemangku hukum dalam menjalankan tugasnya, sangat memprihatinkan dan menakutkan bagi pencari keadilan di negeri ini, bahwa teory dari Hans kelsen yang memisahkan antara hukum dan moral benar2 diterapkan dari para APH baik di lingkungan peradilan, maupun pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Bahwa hukum berlaku bagi yang punya kekuasaan baik materi maupun jabatan. Dan ini sudah jauh dari cita cita kontitusi kita sebagai negara hukum yang dengan susah payah dan jiwa negarawan telah didirikan oleh bapak pendiri bangsa kita (Founding Father’s) kita. Padahal teory dari Hans kelsen soal pemisahan antara hukum sebuah norma dengan moral berkaitan dengan pembentukan hukum dan perundangan, yang oleh H.L.A. Hart didefinisikan dalam teory kelembagaan, yakni terbentuk nya lembaga peradilan, bukan menyangkut penerapan hukum dalam perspektif aparat penegak hukum nya.

Pemikiran dari para pendiri bangsa/Founding Father kita ini, baik Soekarno, Soepomo, Sahrir, Moh Hatta, Moh Yamin, harus diakui tidak muncul secara taken for granted, karena mereka disamping banyak belajar dari situasi negara negara barat/Eropa dan Amerika saat itu, tetapi juga mempunyai rasa sensitivitas dan pemahaman yang sangat dalam tentang nilai nilai yang mengakar dan tumbuh dari suku suku bangsa ini (Local Wisdom), bahkan seorang guru besar sosiologi di Indonesia yakni Prof Satjipto Rahardjo dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswanya bahwa “sejatine ora Ono opo opo, seng Ono Kuwi Dudu” (sejatinya tidak ada apapun di dunia ini, yang ada sejatinya menipu) dimana kata falsafah dalam dimensi filsafat spiritualisme Jawa tersebut sangat dalam, yang mengajarkan kita agar kembali membumi pada kearifan local dan ajaran leluhur dalam menyikapi situasi Saat ini, yang telah digali oleh bung Karno dalam Pancasila dengan sila sila nya, sebagai pemersatu bangsa dan sekaligus sebagai Philosophische Grondslag.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano