Bandung, aktual.com – Proyek cable car atau keretan gantung yang digulirkan Ridwan Kamil saat masih menjadi Wali Kota Bandung pada tahun 2015 silam sebagai solusi mengurai kemacetan hingga kini masih menjadi salah satu proyek yang mangkrang dan belum terealisasi. Bahkan, satu unit cable car yang menjadi model cable car tersebut terparkir di lingkungan Pemerintah Kota Bandung dan menjadi rangka yang tidak terawat.
Padahal, pada masa rencana tersebut digulirkan menjadi salah satu proyek yang mendapatkan restu dari Jokowi dan menjadi rencana pembangunan transportasi massal di cekungan Bandung. Proyek cable car yang juga sudah mengantongi izin dari Jokowi itu rencananya akan dibangun melalui beberapa tahap.
Tahap satu, diharapkan dapat diselesaikan selama masa kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden. Tidak hanya itu, Ridwan Kamil juga merencanakan tahap selanjutnya pembangunan cable car dilanjutkan setelah Pemilu 2024.
Seperti diketahui, proyek cable car itu akan dikerjakan oleh PT Aditya Dharmaputra Persada Development yang memenangkan tender proyek cable car. Dibangun sebanyak 60 kabin dengan kapasitas 2.400 setiap jam dan diperkirakan akan menghabiskan anggaran hingga Rp 138 milyar.
Sayangnya, lagi-lagi proyek itu belum terealisasi hingga saat ini berakhirnya era Jokowi. Bahkan, proyek itu pun dipertanyakan pakar kebijakan publik Universitas Padjajaran (Unpad) apakah perlu cable car untuk transportasi publik? Kecuali untuk wisata mungkin bisa dikatakan sebagai terobosan baru yang dimiliki Kota Bandung.
“Kalau untuk cable car menurut saya, apakah perlu? sepertinya konsepnya lebih ke wisata terlebih kalau memang kota Bandung ini dikenal sebagai salah satu Kota wisata. Urgentnitasnya kalau dari angka 1 sampai 10 mungkin ada di angka 2,” beber Yogi.
Yogi menegaskan, dalam membangun alat transportasi harus jelas terlebih dahulu apakah dibangun untuk transportasi publik, wisata atau pengangkutan barang dan cable car tidak terlalu urgent.
“Dalam menggulirkan sebuah pembangunan, balik lagi, semua harus metang mulai dari perencanaannya, terlebih tidak mudah untuk merealisasikan yang akan berdampak jangka panjang bagi masyarakat,” imbuhnya.
Kalau hanya membangun, tambah Yogi, mungkin mudah, tapi dia mengingatkan harus terintegrasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk warga yang akan merasakan dampaknya.
“Analisinya pasti panjang, mulai dari rencana, administasinya, lahannya, dan termasuk pembangunannya. Hingga akhirnya semua sudah terintegrated dan matang, barulah digulirkan dan di eksekusi. Jangan sampai hanya membangun saja,” tandas Yogi.
Pakar lainnya pun ikut bersuara terkait proyek cable car yang dinilai tidak efektif yaitu pakar transportasi ITB, Sony Sulaksono. Menurutnya, cable car atau kereta gantung kurang layak untuk kawasan Bandung.
Menurutnya, pertama, kereta gantung itu sebenarnya konstruksinya harus lurus, dan setiap belokan harus ada tiang khusus, satu motor untuk menari, dan satu lagi motor untuk mendorong.
“Sehingga dia berbelok. Kalau kereta gantung itu mengikuti jalan di Kota bandung, maka terlalu banyak belokan. Jadi, tidak efektif,” ujar Sony.
Sony juga mengatakan kalau kereta gantung itu memang diperuntukkan di kawasan pegunungan. Namun, kawasan yang memiliki sifat lurus. Berbeda dengan Bandung Raya. “Beda dengan LRT metro capsul, misalnya mono rel bisa berbelok mengikuti bentuk jalan kalau di bangun di atas jalan,” tambahnya lagi,
Terlebih lagi, biayanya tak jauh berbeda dengan kereta gantung. “Jadi, menurut saya kereta gantung terlalu memaksakan kalau kita membangun untuk kawasan Bandung,” tegasnya Sony.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano