Jakarta, Aktual.co —Sawito Kartowibowo nama paranormal yang pernah mengkudeta Presiden Soeharto, mengingatkan publik agar menggugat Abraham Samad atas Kode Etik yang dilanggar Ketua KPK ini, “Bila Jenderal BG dieksekusi minggu depan, maka pihak Kejaksaan dan pihak DPR bisa menjadikan hal ini diangkat ke publik, soal Abraham Samad,” tulis Sawito dalam opini di Kompasiana, Sabtu 17 January 2015 pukul 20:05. (Baca juga: Rumah Kaca Abraham Samad)
Dalam Opini bertajuk “Rumah Kaca Abraham Samad” itu, Sawito juga menghimbau DPR, Presiden Jokowi, Media, dan Publik, secara umum harus mempertanyakan soal pertemuan-pertemuan Samad dengan PDIP. Karena hal ini bisa ditindaklanjuti menjadi pertanyaan lebih lanjut soal “legitimasi moral” Samad sebagai Pimpinan KPK.
Menurut Sawito, ada sejumlah Etika yang dilanggar Abraham Samad selaku Ketua KPK saat melakukan enam kali rangkaian pertemuan politik tersebut:
A. Pelanggaran Kode Etik KPK No.Keputusan No.6/P-KPK/02/2004-Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu apapun kepada siapapun juga-.-Menerima Langsung atau Tidak Langsung Dari Siapapun Juga Suatu Janji Atau Pemberian-Setia Mempertahankan dan Mengamalkan Peraturan Perundang-undangan-Senantiasa Sungguh-Sungguh dan Jujur-Menolak atau Tidak Menerima Atau Mau Dipengaruhi Oleh Campur Tangan Siapapun.-Bertentangan dengan kewajiban dan Hukum
a) menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, layak dan pantas.b)pasal 6 ayat 1 (m) : “menghilangkan sikap arogansi dan sektoral”c) pasal 6 ayat 1(n) : “Mengindentifikasi setiap kepentingan yang timbul atau mungkin benturan kepentingan yang timbul dan memberitahukan ke pemimpin lainnya sesegera mungkin.d) pasal 6 ayat 1 (q) menahan diri terhadap godaan yang berpotensi mempengaruhi substansi keputusane) pasal 6 ayat 1 (r) : “memberitahukan dengan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak lain dan telah dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam hubungan tugas maupun tidak.f) pasal 6 ayat 1 (u) : “Membatasi pertemuan di ruang publik seperti di hotel, restoran atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik lainnya.
Seluruh isi pasal pasal etik tersebut, menurut Sawito, harus digunakan guna menelisik seluruh kronologis enam kali pertemuan Abraham Samad dengan petinggi PDIP. Antara lain guna menguji sejauh mana rangkaian pertanyaan di bawah ini, yaitu:1. Apakah Samad bersih dari Permainan Politik pada saat ini?2. Apakah bila kemudian hal ini menjadi bukti dalam paparan publik, bisakah Samad mempertanggungjawabkan perbuatannya? Seperti ia menyeret Suryadharma Ali (SDA) di mana ia saat itu sebagai Ketua KPK, dan SDA berada dalam lingkaran Prabowo, ia juga mempermalukan Prabowo pada Pilpres 2014. Tujuannya agar ia menaikkan posisi tawarnya pada Jokowi dan mempesona lawan politik Prabowo.3. Lantas kenapa pemberian stempel terjadi amat politis, seperti pada SDA. Lalu ketika Rini naik (jadi Menteri), ia tidak melakukan langkah politik, sementara Rini dikabarnya “tidak layak KPK”? Lalu pada Jenderal BG, ia tiba-tiba memberikan penangkapan dan diuntungkan oleh eforia besar keberpihakan publik? Lucunya juga, ketika Badrodin Haiti naik dan sama-sama diindikasikan punya rekening gendut, Samad diam saja.4. Ada apa dengan PDIP yang semangat banget mencalonkan Jenderal BG, dan kenapa Jokowi juga tunduk pada arahan PDIP itu?.5. Ada apa dengan konflik internal POLRI ?
“Sebagai warga negara Indonesia saya sebenarnya sedih, karena saya berharap sekali KPK menjadi ujung tombak penegakan hukum, sebuah lembaga yang dibentuk dalam situasi darurat korupsi, tapi malah terjebak dalam permainan politik karena oknumnya yang berambisi politik,” tulis Sawito.
Karena itu, Sawito pun mengingatkan dan menggugah sikap kritis kalangan pers. “Saya rasa Media Massa, pasca pembatalan ini juga melihat dua hal BG dan Samad. Terutama TEMPO cobalah selidiki sejujurnya soal peran Samad dalam ikut campur dalam dunia politik, ketuklah rasa kewartawanan kalian soal sikap tidak adil Samad ini, apakah benar ada enam pertemuan dengan PDIP karena bila itu menjadi fakta maka Samad sudah melanggar hukum dan secara legitimasi moral sudah tidak layak memimpin KPK.”
Indonesia bagi Abraham Samad, dinilai Sawito, seperti dijadikan “Rumah Kaca” ala Pangemanann dalam tetralogi Pram. Sebuah novel yang bisa menjelaskan dengan jelas bagaimana kekuasaan itu bekerja, dan membuat orang yang tak jujur gelisah, walaupun kekuasaan itu mendukung dirinya untuk berbuat salah.
“Semoga Abraham Samad bisa sadar, bahwa jabatan KPK adalah harapan satu-satunya rakyat, ungkaplah BLBI, Hambalang, Bank Century bukan menjadikan kasus tipiring menjadi alat tekanan politik dan membuat pusing Bapak Presiden. Kita juga tak ingin punya Kapolri yang tidak baik masa lalunya, tapi kita juga tidak ingin semangat massa dikelabui untuk kepentingan politik seseorang dan mengorbankan harapan bangsa untuk menjadi lebih baik,” tutup Sawito dalam tulisannya itu.BACA JUGA: Setelah Kudeta Paranormal Soeharto, Sawito Bongkar Langkah Abraham Samad
Artikel ini ditulis oleh:

















