Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa lembaga tersebut siap untuk membantu Pemerintah Indonesia untuk menyusun kembali Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang baru.
Ia membeberkan, lembaga itu akan berpartisipasi aktif bila dibutuhkan, guna membantu menyusun poin-poin yang harus dimasukkan dalam RUU itu.
“Untuk Komnas HAM, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), disebutkan juga bahwa bentuk penyelesaian lain untuk pelanggaran berat adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),” kata Atnike di Jakarta, Rabu (11/12).
Menurut dia, apabila Pemerintah nanti akan mengusulkan dan membahas lagi-lagi mengenai Rancangan Undang-Undang KKR, maka Komnas HAM akan mengawal dan memastikan korban menerima keadilan sebagaimana mestinya.
“Kami akan menawar dan memastikan bahwa korban pelanggaran HAM akan mendapatkan mekanisme yang dapat memberikan keadilan sebagaimana mestinya,” ujar dia.
Atnike menambahkan, keadilan itu sangat penting diwujudkan, agar bangsa Indonesia bisa dapat melangkah ke depan lebih baik lagi, dengan situasi penegakan HAM yang berkeadilan.
Selain UU Nomor 26 Tahun 2000, Komnas HAM juga berkomitmen menerapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang menyebutkan bahwa penanganan kasus dilakukan melalui fungsi pemantauan, pengawasan, dan penyelidikan, serta mediasi.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, mengatakan Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto, berkomitmen membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) baru terkait hak asasi manusia (HAM).
Ia membeberkan, upaya itu untuk meneruskan kebijakan sebelumnya yang sudah dimulai pada Pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.
“Kemudian juga sudah ditindaklanjuti sebagian, dan masih akan terus dilanjutkan oleh pemerintah yang baru sekarang ini. Dalam pada itu memang sudah ada draft atau konsep tentang Rencana Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mudah-mudahan mengadopsi prinsip-prinsip universal tentang KKR ini yang dipelajari dari banyak negara,” kata Yusril saat menghadiri peringatan Hari HAM Sedunia di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Selasa (10/12).
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma yang ada di dalam UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak memiliki kepastian hukum untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Putusan MK itu dibacakan dalam sidang pleno Kamis, 7 Desember 2006 yang dipimpin Ketua MK ketika itu Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (sekarang Ketua Majelis Kehormatan MK) mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Palguna, permohonan uji materi yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) itu seharusnya tidak dapat diterima.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan