Jakarta, Aktual.com – Sebuah pemandangan yang mengundang kontroversi dan rasa ingin tahu muncul dari Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Sosok Bupati Ruksamin, yang juga kandidat Gubernur Sulawesi Tenggara pada Pilkada 2024 namun gagal menang, menjadi sorotan tajam karena gaya hidupnya yang dianggap jauh dari kesederhanaan, bahkan mewah.
Salah satu hal yang paling mencuri perhatian adalah kebiasaannya menggunakan helikopter dalam berbagai aktivitasnya, baik sebagai bupati maupun kandidat politik.
Namun, dari mana sebenarnya sumber dana untuk fasilitas mewah tersebut? Sebuah pertanyaan yang menggelitik, mengingat laporan resmi harta kekayaan Ruksamin menunjukkan kondisi yang seharusnya tidak memungkinkan untuk hidup bergelimang kemewahan.
Berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), per Desember 2023, kekayaan Ruksamin tercatat sebesar Rp3,2 miliar. Dari jumlah tersebut, kas dan setara kas yang dimiliki hanya Rp143,8 juta. Dengan angka ini, ia hanya memiliki uang tunai cukup untuk sewa helikopter selama sekitar dua jam, mengingat tarif rata-rata helikopter mencapai Rp50 juta per jam.
Pertanyaan besar pun muncul: dari mana Ruksamin mendapatkan akses untuk menggunakan helikopter secara rutin, baik untuk kunjungan kerja maupun aktivitas politiknya?
Direktur Eksekutif Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menilai bahwa gaya hidup Ruksamin layak menjadi perhatian serius aparat penegak hukum, terutama KPK. Dalam wawancara dengan media pada Sabtu (21/12), Uchok menyatakan bahwa KPK perlu memanggil Ruksamin untuk menelusuri sumber dana yang mendukung gaya hidup tersebut.
“Bupati seperti ini sebaiknya dipanggil KPK. Tinggal telusuri kekayaannya yang dilaporkan, lalu tanyakan dari mana sumber uangnya. Kalau sampai bupati hidup mewah, bahkan memamerkan naik helikopter, ini jelas-jelas mengundang tanda tanya besar,” ungkap Uchok.
Uchok menegaskan, investigasi oleh KPK menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau sumber lain yang tidak sesuai aturan.
Ruksamin memang kerap terlihat menggunakan helikopter dalam berbagai momen penting. Salah satunya adalah ketika ia menyalurkan hak pilihnya di TPS 1 Desa Besulutu, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara, beberapa waktu lalu. Helikopter yang digunakan kala itu mencuri perhatian warga sekitar, memperkuat citra glamor seorang bupati di wilayah yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Tidak hanya itu, dalam rangkaian kampanyenya untuk pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2024, helikopter tampak menjadi moda transportasi andalannya. Bersama pasangannya, LM Sjafei Kahar, Ruksamin gencar melakukan sosialisasi dan kampanye di berbagai wilayah. Fakta bahwa pasangan ini menjadi kandidat dengan pengeluaran dana kampanye terbesar menambah bumbu kontroversi.
Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara, pasangan Ruksamin dan LM Sjafei Kahar tercatat menghabiskan dana kampanye sebesar Rp11,7 miliar dari total penerimaan Rp12,4 miliar. Angka ini membuat mereka menjadi pasangan dengan pengeluaran kampanye tertinggi dibandingkan kandidat lainnya. Kompetitornya, Andi Sumangerukka dan Hugua, hanya menghabiskan Rp9,7 miliar, sementara pasangan Lukman Abunawas dan Laode Ida mengeluarkan Rp4,2 miliar.
Tingginya pengeluaran kampanye Ruksamin semakin mempertegas spekulasi tentang sumber dana di balik semua aktivitasnya, terutama penggunaan helikopter yang menjadi sorotan publik.
Isu penggunaan helikopter oleh Ruksamin tak hanya berkutat pada gaya hidup, tetapi juga potensi pelanggaran hukum. Sebagai pejabat daerah, Ruksamin tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas negara, termasuk helikopter yang dibiayai oleh APBD, untuk kepentingan pribadi atau kampanye, meskipun ia sedang cuti dari jabatannya sebagai bupati.
Ironisnya, laporan LHKPN menunjukkan bahwa Ruksamin tidak memiliki aset berupa helikopter atau sumber daya yang cukup untuk menyewanya secara rutin. Jika memang ia menyewa helikopter dari sumber dana pribadi, apakah hal itu cukup masuk akal mengingat keterbatasan kas yang dilaporkan?
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan