Jakarta, Aktual.co — Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan penunjukan Plt Kapolri oleh Presiden Joko Widodo tidak tepat dan akan menimbulkan tiga persoalan.
Menurut dia, berdasarkan Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam keadaan mendesak Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas (Plt) Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, berdasarkan penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan mendesak’ adalah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan Presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara.
“Disinilah letak permasalahannya, Kapolri Sutarman sama sekali tidak melanggar sumpah jabatan dan juga tidak membahayakan keselamatan negara, sehingga secara yuridis tidak tepat jika ia diberhentikan dan Presiden menunjuk seorang Pelaksana Tugas (Plt),” katanya.
Yang kedua, tidak dicermatinya perbedaan tugas dan wewenang Kapolri. Dalam pidatonya Presiden Jokowi menyebut Badrodin Haiti akan melaksanakan tugas dan wewenang Kapolri.
“Pelimpahan Tugas dan sekaligus Wewenang ini melampaui apa yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002,” katanya.
Secara jelas istilah yang disebut oleh Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 hanyalah ‘Pelaksana Tugas’ dan bukan ‘Pelaksana Tugas dan Wewenang.’ Padahal ‘tugas’ dan ‘wewenang’ Kapolri adalah dua hal yang sangat berbeda.
Terakhir, soal jangka waktu penundaan yang terlalu lama. Presiden Jokowi tidak menyebutkan secara jelas jangka waktu penundaan, namun jika penundaan tersebut dilakukan hingga proses hukum Budi Gunawan selesai dan dia diputus tidak bersalah oleh pengadilan maka penundaan ini paling tidak akan berlaku selama satu tahun enam bulan.
Proses penyidikan di KPK tidak mengenal adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), artinya kasus ini akan terus bergulir ke persidangan Pengadilan Tipikor, lalu banding ke Pengadilian Tinggi hingga berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung.
Untuk itu, berdasarkan pada persidangan kasus-kasus Tipikor terdahulu, rata-rata satu perkara selesai sampai tingkat kasasi paling cepat selama satu tahun enam bulan.
Artikel ini ditulis oleh:

















